Kamis, 04 Juli 2013

Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam



             Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah perkawinan di dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman, keberbedaan itu tidak hannya antara satu agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat yang lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.
            Keadaan dan kondisi di suatu daerah misalkan akan turut mempengaruhi pengaturan hukum (perkawinan) di daerah tersebut. Misalnya di negara Indonesia, bangsa yang plural dan heterogen. Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain. Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia (88,2 % dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3 %), Hindu (2,1 %), dan Budha (0,9 %). Keragaman pemeluk agama di Indonesia ternyata telah ikut membentuk pola hubungan antar agama di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satu bentuk pola hubungan tersebut tercermin dalam hukum keluarga di Indonesia khususnya dalam bidang perkawinan sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan disahkannya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Demikianlah ternyata keadaan di suatu negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum/aturan di Negara tersebut.



            Salah satu fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern dan kontemporer ini adalah persoalan pengaturan hukum keluarga di negara-negara muslim, di Indonesia misalkan terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia. Dalam tulisan ini penulis mencoba mencermati salah satu bentuk kontroversi dalam menafsirkan sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia.
            Salah satu tujuan syari’at Islam adalah memelihara kelangsungan keturungan melalui perkawinan yang sah menurut agama, diakui oleh Undang-Undang dan diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat[1]. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin yang dalam, kuat dan kekal antara dua insane, suatu ikatan yang mencakup hubungan timbal balik yang luas di antara keduanya maka harus terdapat kesatuan hati dalam suatu ikatan yang tidak mudah lepas. Perkawinan termasuk bidang yang kebal dari pengaruh pola hubungan antar pemeluk agama. Untuk itu harus ada kesamaan dasar dan tujuan antara kedua mempelai.
            Dalam konteks ini, kepercayaan agama merupakan suatu landasan yang mengisi setiap jiwa, memengaruhinya, menggambarkan perasaannya, membatasi semua pengaruh jiwa dan kehendaknya serta menentukan jalan kehidupan yang bakal ditempuhnya. Walaupun demikian masih banyak orang yang terkecoh dengan masalah agama sehingga mereka menduga bahwa akidah (agama) hanyalah sekedar perasaan yang ada dalam jiwa saja dan bisa diganti dengan beberapa filsafat atau beberapa aliran sosial. Hal semacam ini merupakan suatu asumsi yang diakibatkan karena kepicikan pengetahuan tentang hakikat jiwa insane dan elemen-elemen yang realistis dan disebabkan kebodohannya terhadap realita dan pembawaan kodratnya[2].
            Kedatangan Islam membawa nilai-nilai yang Agung. Islam menyempurnakan tata cara perkawinan dari sifat-sifat kebinatangan, serta berusaha menempatkannya pada kedudukan yang mulia guna mengatur hubungan laki-laki dan wanita yang berderajat tinggi dan sebagai mahluk yang mulia dan utama disbanding mahluk Tuhan lainnya. Kedatangan Islam juga menyingkap makna-makna hakiki sebuah perkawinan[3].
            Islam telah memberikan tuntunan yang lengkap tentang bagaimana memilih pasangan hidup. Jika seseorang telah mampu untuk memilih pasangan hidup dengan baik, niscaya dia akan mendapatkan kebahagiaan, kasih sayang, dan saling cinta diantara suami istri. Islam dalam hal ini menganjurkan kepada pemeluknya agar memilih pasangan hidup dengan menitikberatkan pilihan pada agama.
            Mengikat tali perkawinan yang berbeda agama adalah haram hukumnya, sebab merupakan suatu ikatan yang palsu dan rapuh. Keduanya bersatu bukan karena Allah, jalan hidup yang dirintis pun tidak berdasarkan agama-Nya, sedangkan Allah yang telah memuliakan manusia dan meninggikannya dari derajat hewani menghendaki agar ikatan perkawinan tersebut bukan merupakan kecenderungan hewani ataupun dorongan syahwati belaka, akan tetapi Allaj SWT menghendaki agar ikatan perkawinan itu bertujuan mulia yaitu untuk mencapai keridhaan Allah yang dijadikannya sebagai puncak tujuan dan menuntut agar hubungan perkawinan itu dengan kehendak-Nya, agama-Nya, dan kesucian kehidupan ini[4].
            Terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang perkawinan beda agama. Sebagian ulama membolehkan, tetapi tidak sedikit pula yang mengharamkan. Ulama juga berbeda pendapat terhadap cakupan Ahli Kitab di mana laki-laki boleh menikahi wanita-wanita dari golongan mereka[5].
            Golongan ulama yang mengharamkan perkawinan antar laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab disebabkan oleh pandangan mereka bahwa wanita Ahli Kitab mempunyai kedudukan sama dengan wanita musyrik. Padahal baik laki-laki maupun wanita Muslim dilarang kawin dengan orang-orang musyrik[6]. Menurut golonagn ini, Ahli Kitab sama dengan musyrik karena mereka, orang-orang Ahli Kitab mempertuhankan orang alim mereka, rahib-rahib, dan mengatakan bahwa Uzeir atau Isa sebagai putera Allah[7].
            Ibnu Umar termasuk golongan yang mendukung pendapat ini. Menurutnya, Allah mengharamkan wanita musyrik bagi kaum muslim, “aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar dari seorang perempuan yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa”[8].
            Adapun Jumhur Ulama, berpendapat bahwa laki-laki Muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab[9]. Menurut mereka, lafadz musyrikah tidak mencakup ahli kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Q. S. Al-Baqarah (2) : 105 dan Q. S. Al-Bayyinah (98) : 1 dan 6.
            Meskipun jumhur ulama yang biasanya menjadi rujukan ulama di Indonesia membenarkan perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab, akan tetapi pada perkembangan berikutnya, kebolehan perkawinan seperti ini dibatasi. Di Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, termasuk Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 40 dan 44, menutup kemungkinan terjadinya perkawinan beda agama. Larangan ini lebih disebabkan oleh terjadinya perkawinan beda agama. Larangan ini lebih disebabkan oleh terjadinya dinamika sosial kebutuhan komunitas Muslim untuk memelihara kohesi sosial dan integritas umatnya[10]. Larangan suatu ketentuan yang oleh nas diperbolehkan dengan pertimbangan mafsadah lebih besar dari maslahah dalam kajian usul al-fiqh disebut sadduzzari’ah (tindakan preventif). Perubahan hukum dikarenakan perubahan keadaan dan dinamika sosial itu baru saja terjadi sesuai dengan kaidah hukum Islam (qawa’id al-fiqhiyah), “tidak diingkari perubahan Hukum karena perubahan zaman dan tempat”[11].
            Wahbah az-Zuhaili menambahkan, disamping alasan di atas, dilarangnya perkawinan beda agama karena mereka, orang-orang non-Muslim, mengajak ke neraka[12]. Kepercayaan-kepercayaan musyrik dikhawatirkan akan memengaruhi laki-laki dan wanita Muslim dengan menimbulkan berbagai macam keraguan dan kesesatan. Dengan demikian kekhawatiran adanya pengaruh negative terhadap keimanan seseorang merupakan sebab dilarangnya perkawinan beda agama di Indonesia.

           
                Perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.
            Menurut istilah, nikah adalah akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara laki-laki dan perempuan, dimana antara keduanya bukan muhrim atau lebih tegasnya, pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.
            Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Yang dimaksud dengan perkawinan beda agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya perkawinan antara sorang pria muslim dengan seorang wanita protestan dan sebaliknya.
            Hilman Hadikusuma dalam bukunya “Hukum Perkawinan Indonesia” perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria dengan seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing, termasuk dalam pengertian ini, walaupun agamana satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan upacara-upacara agamanya dan kepercayaannya.
            Dalam ajaran agama Islam, keabsahan perkawinan terletak pada dua hal, yakni pada pelaksanaan akad nikah dan adanya kedua calon mempelai. Artinya perkawinan itu dipandang sah apabila akad dilaksanakan secara islam dan calon-calon suami atau isteri memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Islam. Diantara syarat calon suami atau isteri adalah yang berkaitan dengan keberagamaan mereka. Dalam hal ini, tidak dibenarkan perkawinan naita muslim dengan laki-laki non-Muslim, dan tidak dibenarkan pula perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslim.
            Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup masnusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan rasul-Nya, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
            Dari definisi perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
            Para ulama telah sepakat bahwa terjadinya perkawinan itu secara sempurna setelah dilakukan ijab dan qabul dari suami isteri (semula calon isteri dan calon suami) atau orang-orang yang menggantikan keduanya sebagai wali atau wakil. Dan tidak sah akad nikah itu apabila hanya terjadi karena saling suka sama suka saja antara mereka berdua tanpa akad nikah.

[1] Fuaddudin, Pengesahan Anak Dalam Keluarga Islam, Lembaga Kajian Agama dan Jender. Jakarta, 1999, hlm. 4
[2] Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, PT. Bulan BIntang, Jakarta, 1991, hlm. 14
[3] Kholid Bin Ali Bin Muhammad Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 1993, hlm. 18-19
[4] Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry. Op.Cit., hlm. 16
[5] Q. S. Al-Ma’idah (5) : 5
[6] Q. S. Al-Baqarah (2) : 221
[7] Q. S. Al-Ma’idah (5) : 72 dan 73; Q. S. At-Taubah (9) : 30 dan 31
[8] Ibn Hazm, Al-Muhallah bin al-Asar, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, IX, 1988, hlm. 13
[9] Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 68-70
[10] Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur’an, Pustaka SM, Yogyakarta, 2000, hlm. 29
[11] Ali Ahmad an-Nadawi, Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Dar al-Qalam, Damaskus, 1991, hlm. 123
[12] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1989, VII, hlm. 152



Tidak ada komentar:

Posting Komentar