Perkawinan
merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan
manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan tidak mengherankan jika
agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat
masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang
berlaku di kalangan masyarakatnya. Sudah menjadi kenyataan umum bahwa
pengaturan masalah perkawinan di dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman,
keberbedaan itu tidak hannya antara satu agama dengan agama yang lain, satu
adat masyarakat dengan adat masyarakat yang lain, satu negara dengan negara
yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan
perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut
mazhab atau aliran yang berbeda.
Keadaan dan kondisi di suatu daerah
misalkan akan turut mempengaruhi pengaturan hukum (perkawinan) di daerah
tersebut. Misalnya di negara Indonesia, bangsa yang plural dan heterogen.
Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang
agama terwujud dalam banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, selain Islam
ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain. Sensus penduduk tahun
1980 menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia (88,2
% dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3 %), Hindu (2,1
%), dan Budha (0,9 %). Keragaman pemeluk agama di Indonesia ternyata telah ikut
membentuk pola hubungan antar agama di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan
sosial kemasyarakatan. Salah satu bentuk pola hubungan tersebut tercermin dalam
hukum keluarga di Indonesia khususnya dalam bidang perkawinan sejak
diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan disahkannya
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Demikianlah ternyata keadaan di suatu
negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum/aturan di Negara tersebut.
Salah satu fenomena hukum yang
menarik untuk dikaji bersama di masa modern dan kontemporer ini adalah
persoalan pengaturan hukum keluarga di negara-negara muslim, di Indonesia
misalkan terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya
pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia.
Dalam tulisan ini penulis mencoba mencermati salah satu bentuk kontroversi dalam
menafsirkan sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan
di Indonesia.
Salah satu tujuan syari’at Islam adalah
memelihara kelangsungan keturungan melalui perkawinan yang sah menurut agama,
diakui oleh Undang-Undang dan diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat[1]. Perkawinan merupakan ikatan lahir
bathin yang dalam, kuat dan kekal antara dua insane, suatu ikatan yang mencakup
hubungan timbal balik yang luas di antara keduanya maka harus terdapat kesatuan
hati dalam suatu ikatan yang tidak mudah lepas. Perkawinan termasuk bidang yang
kebal dari pengaruh pola hubungan antar pemeluk agama. Untuk itu harus ada
kesamaan dasar dan tujuan antara kedua mempelai.
Dalam konteks ini, kepercayaan agama
merupakan suatu landasan yang mengisi setiap jiwa, memengaruhinya,
menggambarkan perasaannya, membatasi semua pengaruh jiwa dan kehendaknya serta
menentukan jalan kehidupan yang bakal ditempuhnya. Walaupun demikian masih
banyak orang yang terkecoh dengan masalah agama sehingga mereka menduga bahwa
akidah (agama) hanyalah sekedar perasaan yang ada dalam jiwa saja dan bisa
diganti dengan beberapa filsafat atau beberapa aliran sosial. Hal semacam ini
merupakan suatu asumsi yang diakibatkan karena kepicikan pengetahuan tentang
hakikat jiwa insane dan elemen-elemen yang realistis dan disebabkan
kebodohannya terhadap realita dan pembawaan kodratnya[2].
Kedatangan Islam membawa nilai-nilai
yang Agung. Islam menyempurnakan tata cara perkawinan dari sifat-sifat
kebinatangan, serta berusaha menempatkannya pada kedudukan yang mulia guna
mengatur hubungan laki-laki dan wanita yang berderajat tinggi dan sebagai
mahluk yang mulia dan utama disbanding mahluk Tuhan lainnya. Kedatangan Islam
juga menyingkap makna-makna hakiki sebuah perkawinan[3].
Islam telah memberikan tuntunan yang
lengkap tentang bagaimana memilih pasangan hidup. Jika seseorang telah mampu
untuk memilih pasangan hidup dengan baik, niscaya dia akan mendapatkan
kebahagiaan, kasih sayang, dan saling cinta diantara suami istri. Islam dalam
hal ini menganjurkan kepada pemeluknya agar memilih pasangan hidup dengan
menitikberatkan pilihan pada agama.
Mengikat tali perkawinan yang
berbeda agama adalah haram hukumnya, sebab merupakan suatu ikatan yang palsu
dan rapuh. Keduanya bersatu bukan karena Allah, jalan hidup yang dirintis pun
tidak berdasarkan agama-Nya, sedangkan Allah yang telah memuliakan manusia dan
meninggikannya dari derajat hewani menghendaki agar ikatan perkawinan tersebut
bukan merupakan kecenderungan hewani ataupun dorongan syahwati belaka, akan
tetapi Allaj SWT menghendaki agar ikatan perkawinan itu bertujuan mulia yaitu
untuk mencapai keridhaan Allah yang dijadikannya sebagai puncak tujuan dan
menuntut agar hubungan perkawinan itu dengan kehendak-Nya, agama-Nya, dan
kesucian kehidupan ini[4].
Terdapat perbedaan di kalangan ulama
tentang perkawinan beda agama. Sebagian ulama membolehkan, tetapi tidak sedikit
pula yang mengharamkan. Ulama juga berbeda pendapat terhadap cakupan Ahli Kitab di mana laki-laki boleh
menikahi wanita-wanita dari golongan mereka[5].
Golongan ulama yang mengharamkan
perkawinan antar laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab disebabkan oleh pandangan mereka bahwa wanita Ahli Kitab mempunyai kedudukan sama
dengan wanita musyrik. Padahal baik laki-laki maupun wanita Muslim dilarang
kawin dengan orang-orang musyrik[6].
Menurut golonagn ini, Ahli Kitab sama
dengan musyrik karena mereka, orang-orang Ahli Kitab mempertuhankan orang alim
mereka, rahib-rahib, dan mengatakan bahwa Uzeir atau Isa sebagai putera Allah[7].
Ibnu Umar termasuk golongan yang
mendukung pendapat ini. Menurutnya, Allah mengharamkan wanita musyrik bagi kaum
muslim, “aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar dari seorang perempuan
yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa”[8].
Adapun Jumhur Ulama, berpendapat
bahwa laki-laki Muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab[9].
Menurut mereka, lafadz musyrikah tidak mencakup ahli kitab. Hal ini didasarkan
pada firman Allah dalam Q. S. Al-Baqarah (2) : 105 dan Q. S. Al-Bayyinah (98) :
1 dan 6.
Meskipun jumhur ulama yang biasanya
menjadi rujukan ulama di Indonesia membenarkan perkawinan antara laki-laki
Muslim dengan wanita ahli kitab, akan tetapi pada perkembangan berikutnya,
kebolehan perkawinan seperti ini dibatasi. Di Indonesia, Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Fatwa Majelis Tarjih PP
Muhammadiyah, termasuk Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 40 dan 44, menutup
kemungkinan terjadinya perkawinan beda agama. Larangan ini lebih disebabkan
oleh terjadinya perkawinan beda agama. Larangan ini lebih disebabkan oleh
terjadinya dinamika sosial kebutuhan komunitas Muslim untuk memelihara kohesi
sosial dan integritas umatnya[10].
Larangan suatu ketentuan yang oleh nas diperbolehkan
dengan pertimbangan mafsadah lebih
besar dari maslahah dalam kajian usul al-fiqh disebut sadduzzari’ah (tindakan preventif).
Perubahan hukum dikarenakan perubahan keadaan dan dinamika sosial itu baru saja
terjadi sesuai dengan kaidah hukum Islam (qawa’id
al-fiqhiyah), “tidak diingkari perubahan Hukum karena perubahan zaman dan
tempat”[11].
Wahbah az-Zuhaili menambahkan,
disamping alasan di atas, dilarangnya perkawinan beda agama karena mereka,
orang-orang non-Muslim, mengajak ke neraka[12].
Kepercayaan-kepercayaan musyrik dikhawatirkan akan memengaruhi laki-laki dan
wanita Muslim dengan menimbulkan berbagai macam keraguan dan kesesatan. Dengan
demikian kekhawatiran adanya pengaruh negative terhadap keimanan seseorang
merupakan sebab dilarangnya perkawinan beda agama di Indonesia.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah
suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki
dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi
rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.
Menurut istilah,
nikah adalah akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan
kewajiban, tolong menolong antara laki-laki dan perempuan, dimana antara
keduanya bukan muhrim atau lebih tegasnya, pernikahan adalah suatu akad suci
dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status
sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai
keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Yang dimaksud dengan perkawinan beda
agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama
dan kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya
perkawinan antara sorang pria muslim dengan seorang wanita protestan dan
sebaliknya.
Hilman Hadikusuma dalam bukunya
“Hukum Perkawinan Indonesia” perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria
dengan seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan
dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing, termasuk dalam pengertian
ini, walaupun agamana satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan
upacara-upacara agamanya dan kepercayaannya.
Dalam ajaran agama Islam, keabsahan
perkawinan terletak pada dua hal, yakni pada pelaksanaan akad nikah dan adanya
kedua calon mempelai. Artinya perkawinan itu dipandang sah apabila akad
dilaksanakan secara islam dan calon-calon suami atau isteri memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan oleh Islam. Diantara syarat calon suami atau
isteri adalah yang berkaitan dengan keberagamaan mereka. Dalam hal ini, tidak
dibenarkan perkawinan naita muslim dengan laki-laki non-Muslim, dan tidak dibenarkan
pula perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslim.
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah
untuk memenuhi tuntutan naluri hidup masnusia, berhubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan
rasul-Nya, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan
mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.
Dari
definisi perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan bertujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Para
ulama telah sepakat bahwa terjadinya perkawinan itu secara sempurna setelah
dilakukan ijab dan qabul dari suami isteri (semula calon isteri dan calon
suami) atau orang-orang yang menggantikan keduanya sebagai wali atau wakil. Dan
tidak sah akad nikah itu apabila hanya terjadi karena saling suka sama suka
saja antara mereka berdua tanpa akad nikah.
[1]
Fuaddudin, Pengesahan Anak Dalam Keluarga
Islam, Lembaga Kajian Agama dan Jender. Jakarta, 1999, hlm. 4
[2]
Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry, Perkawinan
Campuran Menurut Pandangan Islam, PT. Bulan BIntang, Jakarta, 1991, hlm. 14
[3]
Kholid Bin Ali Bin Muhammad Al-Anbari, Perkawinan
dan Masalahnya, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 1993, hlm. 18-19
[4]
Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry. Op.Cit., hlm.
16
[5] Q.
S. Al-Ma’idah (5) : 5
[6] Q.
S. Al-Baqarah (2) : 221
[7] Q.
S. Al-Ma’idah (5) : 72 dan 73; Q. S. At-Taubah (9) : 30 dan 31
[8]
Ibn Hazm, Al-Muhallah bin al-Asar, Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, IX, 1988, hlm. 13
[9]
Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala Mazahib
al-Arba’ah, Dar al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 68-70
[10]
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur’an, Pustaka SM,
Yogyakarta, 2000, hlm. 29
[11]
Ali Ahmad an-Nadawi, Al-Qawa’id
al-Fiqhiyah, Dar al-Qalam, Damaskus, 1991, hlm. 123
[12]
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa
Adillatuh, Dar al-Fikr, Beirut, 1989, VII, hlm. 152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar