Selasa, 29 Mei 2012

POLITIK DAN POLITIK INTERNASIONAL


POLITIK DAN POLITIK INTERNASIONAL

            Politik adalah pemikiran yang terkait dengan mengurusi kepentingan orang. Baik pemikiran tersebut berupa kaidah-kaidah; akidah atau hukum-hukum. Atau pemikiran tersebut berupa perbuatan-perbuatan yang sedang berlangsung, atau telah atau akan berlangsung. Maupun berupa informasi-infor­masi. Bila pemikiran-pemikiran tersebut adalah persoalan yang realistis maka ia merupakan politik. Baik terkait dengan persoalan-persoalan kekinian atau futuristik. Sekali­pun waktunya telah lewat. Yaitu berupa fakta yang telah berlalu dan lenyap. Baik baru saja berlalu atau sudah lama, yang berupa sejarah.
            Karena itu, sejarah itu pun merupakan politik. Ia merupakan sejarah, baik berupa realitas-realitas yang tidak akan berubah dengan pergantian masa. Dan inilah hal yang wajib senantiasa diketahui. Atau berupa peristiwa-peristiwa dalam situasi tertentu yang berlalu dan berlalu pulalah situasi itu. Dan inilah yang tidak harus diambil. Semestinya pengamat atau pembaca senantiasa dalam keadaan sadar ketika membaca atau mengamatinya. Sehingga tidak akan mengambilnya dalam situasi yang tidak cocok dengan situasinya. Maka, ia terperangkap dalam kesalahan, dus amat berbahaya untuk mengambilnya.
            Manusia, dari segi kemanusiaanya, atau pribadi dari segi bahwa ia adalah hidup di tengah kehidupan ini adalah politikus yang suka berpolitik dan memperhatikan politik. Sebab, ia selalu mengurusi kepentingan dirinya, atau orang yang menjadi tanggungannya, atau kepentingan bangsa, idiolo­gi serta pemikiran-pemikirannya. Hanya saja individu, kelom­pok, negara-negara atau organisasi-organisasi internasional yang menolak mengurusi kepentingan umat, negara, wilayah ataupun negara-negara mereka secara pasti adalah politikus, dilihat dari sisi bahwa mereka adalah keturunan manusia. Dan merupakan sesuatu yang alami dari sisi kealamiahan aktivi­tas, kehidupan dan tangungjawab-tangungjawab mereka. Karena itu, mereka adalah politikus yang jelas-jelas politikus. Merakalah yang berhak disebut dengan kata 'politikus'. Hal ini tidak hanya diperuntukkan bagi individu yang aktif-agresif. Sebab, itu merupakan pembatasan berfikir dalam hal mengurusi suatu kepentingan serta pembatasan kegiatan dalam kehidupan. Pembahasan tentang politik hanya bermakna politi­kus-politikus tersebut. Dan tidak berarti untuk semua orang.
            Para ahli telah mendefinisikan politik, bahwa politik adalah bidang kemungkinan-kemungkinan, atau bidang kemungki­nan. Inilah definisi yang tepat. Hanya saja, dilihat dari segi apa yang telah dialami manusia dengan membatasi pada hal-hal kekinian, ini adalah kesalahan. Sebab itu berarti realistis-pragmatis dengan pengertian yang keliru. Ia telah mengkaji fakta dan perjalanan hidup sesuai dengan fakta terse­but. Dan kalaupun ini diterima, niscaya tidak akan ada sejarah. Juga pasti tidak ada kehidupan politik. Sebab sejarah adalah perubahan realitas. Dan kehidupan perpoliti­kan adalah perubahan realitas-realitas yang berproses menuju realitas-realitas yang lain.
            Karena itu, definisi politik sebagai bidang kemungkinan adalah definisi yang keliru sesuai dengan pemahaman orang tentang definisi tersebut, atau sesuai dengan pemahaman politikus tersebut. Namun, dilihat dari segi bahwa kata mungkin yang memiliki arti hakiki yaitu apa saja yang ber­tentangan dengan kemustahilan serta bertentangan dengan kemestian, sesungguhnya adalah benar. Sebab politik bukanlah bidang kemustahilan. Tetapi, politik hanyalah bidang kemung­kinan. Maka pemikiran-pemikiran yang terkait dengan kemung­kinan-kemungkinan atau yang lebih tepat adalah apa yang tidak terkait dengan realitas-realitas kemungkinan dan fakta ini maka bukan merupakan politik. Melainkan fenomena-fenome­na yang terfikirkan, atau sekedar imajinasi-imajinasi ko­song, ataupun hanya hayalan-hayalan belaka. Maka, sebuah pemikiran hingga bisa disebut sebagai pemikiran politik atau sampai pemikiran tersebut menjadi politik harus terkait dengan kemungkinan. Karena itu politik merupakan bidang ke­mungkinan bukan bidang kemustahilan.
            Seseorang hingga bisa disebut sebagai politikus harus memiliki pengalaman politik. Baik menangani politik dan mengurusinya secara langsung. Dan dia disebut politikus yang berhak menyandang sebutan politikus. Atau secara tidak langsung menanganinya, yaitu (yang disebut) pengamat poli­tik. Dan agar seseorang memiliki pengalaman politik tersebut ia harus memenuhi tiga persoalan penting. Pertama, informa­si-informasi politik. Kedua, kontinuitas mengetahui informa­si-informasi politik yang sedang berkembang. Ketiga, ketepa­tan memilih informasi-informasi politik.
            Informasi-informasi politik adalah informasi-informasi historis, utamanya adalah realitas-realitas sejarah serta informasi-informasi tentang peristiwa-peristiwa, tindakan-tindakan serta pribadi-pribadi yang terkait dengan mereka, dari segi pandangan politik. Juga informasi-informasi tentang hubungan-hubungan politik, baik antar individu, negara-negara ataupun pemikiran-pemikiran tertentu. Informasi-informasi inilah yang bisa membuka makna pemikiran politik, baik berupa informasi, tindakan maupun kaidah; akidah dan hukum tertentu. Maka, tanpa informasi-informasi ini seseo­rang tidak akan mungkin memahami pemikiran politik apapun sekalipun didukung dengan kecerdasan dan kejeniusan. Sebab persoalannya adalah persoalan pemahaman, bukan persoalan logika.
            Sedangkan mengetahui berita-berita yang berkembang, terutama berita-berita politik, karena ia merupakan informa­si, dan karena ia merupakan berita tentang peristiwa terten­tu yang sedang berkembang, juga karena ia merupakan pusat pemahaman dan pembahasan, karena itu harus mengetahuinya. Ketika peristiwa-peristiwa kehidupan ini secara pasti terus berubah, berkembang dan berbeda-beda serta bertolak bela­kang, maka jelas menjadi keharusan mengikutinya secara kontinue. Sehingga tetap senantiasa mengetahuinya. Yaitu tetap senantiasa berhenti menanti di stasiun kereta api yang secara riil akan dilewati kereta api tersebut. Dan agar tidak berhenti menanti di stasiun yang kini tidak dilewati kereta api tersebut. Tetapi kereta itu selalu lewat satu jam sebelumnya kemudian berubah, lalu lewat di stasiun lain. Karena itu menjadi keharusan untuk mengikuti berita-berita tersebut secara kontinue dan terus mengikutinya hingga tak satupun berita yang terlewatkanya. Baik berita tersebut penting atau biasa-biasa. Bahkan wajib senantiasa dibawa saat mencari dalam tumpukan jerami untuk mendapatkan sebutir gandum. Dan kadang-kadang tidak dia temukan. Karena dia tidak tahu kapan berita penting itu datang, dan kapan tidak.
            Untuk itulah, harus senantiasa mengikuti semua berita-berita tersebut. Baik yang dianggap penting atau tidak. Sebab, berita-berita tersebut merupakan penggalan-penggalan yang terkait sebagiannya dengan sebagian yang lainya. Bila satu penggalan hilang, maka terputuslah 'rantai' tersebut. Juga sulit mengetahui persoalannya. Bahkan kadang-kadang bisa difahami dengan salah. Kadang fakta yang ada dikaitkan dengan berita atau pemikiran yang telah berakhir dan sirna, dan tidak akan pernah kembali lagi. Karena itu, mengikuti berita-berita tersebut harus secara terus-menerus hingga pemahaman politiknya menjadi jelas.

Jumat, 25 Mei 2012

Pertamina VS Karaha Bodas Company

        Setelah melalui sengketa yang melelahkan, akhirnya Pertamina berniat membayar klaim Karaha Bodas Co. LLG (KBC) sebesar US$250 juta untuk memenuhi putusan Arbitrase Internasional (sebesar US$ 291 juta –pen) atas ditangguhkannya proyek pembangkit listrik panas bumi (PLTP) Karaha.
Namun, dua hari kemudian (13 Mei 2004), dua orang dari Pertamina (Priyanto selaku mantan Kepala Divisi Panas Bumi dan Syafei Sulaeman selaku mantan Kepala Subdirektorat Panas Bumi) dan Robert Mc Kitchen (warga negara AS) selaku Vice President KBC dijadikan tersangka kasus korupsi proyek PLTP Karaha.
        Proyek PLTP Karaha merupakan proyek pengembangan listrik tenaga panas bumi 400 Mega Watt (MW). Ada dua kontrak yang diteken pada 28 November 1994. Yaitu (i) Joint Operation Contract antara Pertamina dan KBC (berkaitan dengan pengembangan lapangan panas bumi) dan (ii) Energy Sales Contract antara antara Pertamina, KBC, dan PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan.
Namun, karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF), pada 20 September 1997 presiden melalui Keppres No.39/1997 tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/BUMN.
        Kepres tersebut menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai keadaan ekonomi pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997 melalui Kepres No.47/1997 proyek diteruskan. Namun, berdasarkan Keppres No.5/ 1998 pada tanggal 10 Januari 1998 proyek kembali di tangguhkan.
Meski akhirnya pada 22 Maret 2002 pemerintah melalui Keppres No.15/2002, berniat melanjutkannya proyek. Selanjutnya, didukung juga dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.216K/31/MEM/2002 tentang Penetapan Status Proyek PLTP Karaha dari Ditangguhkan Menjadi Diteruskan. Dari rentetan kisah ini, penangguhan proyek PLTP Karaha bukan kehendak Pertamina murni. Tapi, dalam rangka menjalankan kebijakan pemerintah.
        Bahkan, kebijakan pemerintah pun dilatarbelakangi rekomendasi International Monetary Fund (IMF) yang dibuktikan dengan Letter of Intent Pemerintah RI kepada IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi. Tentu saja, krisis itu sendiri (dan sudah diakui internasional) bukan kehendak pemerintah.
Artinya, penangguhan proyek merupakan dampak ikutan krisis ekonomi yang di luar kontrol Pemerintah RI. Apalagi Pertamina.
        Dihentikannya suatu kontrak oleh salah satu pihak (bukan kesepakatan para pihak), dalam kacamata hukum, dapat disebabkan oleh wanprestasi (default atau non fulfilment) atau force majeur (keadaan yang memaksa).
       Titik tolak yang membedakan keduanya adalah kehendak membatalkan kontraknya. Jika niat mengakhiri kontrak merupakan kehendak bebas salah satu pihak, maka ia wanprestasi. Sedangkan, jika kegagalan salah satu pihak memenuhi prestasi dalam kontrak disebabkan situasi di luar kontrol salah satu pihak, sehingga dalam keadaan terpaksa dan kejadiannya tidak dapat diprediksikan, disebut force majeure.
Keadaan yang terkategori dalam force majeur (diantaranya) kebijakan pemerintah/peraturan, bencana alam (banjir, gempa bumi, gunung meletus), perang, kerusuhan, dan pemberontakan bersenjata.
Jika pembatalan kontrak disebabkan oleh wanprestasi, maka pihak yang dirugikan layak mendapat ganti rugi. Namun, tidak demikian jika disebabkan oleh force majeure. Sebab, force majeur kejadiaanya di luar kehendak para pihak dan sangat tidak bisa diperkirakan.
Dengan demikian, penangguhan proyek PLTP Karaha oleh Pertamina adalah force majeure. Namun, KBC tidak peduli akan alasan yang menjadi dasar ditangguhkannya proyek tesebut. Terbukti, pada April 1998 KBC menggugat Pertamina melalui Arbitrase Internasional di Swiss.
Sengketa Yang Melelahkan
        Dari total gugatan ganti rugi KBC kepada Pertamina sebesar US$560 juta (US$100 kerugian proyek yang sudah dilaksanakan untuk eksplorasi 8 sumur dan 20 sumur kecil oleh KBC juta plus nilai keuntungan yang akan diterima), Arbitrase “hanya” mengabulkan klaim KBC senilai US$ 261 juta.
        Sesungguhnya, ada beberapa hal yang meragukan “kejujuran” KBC dalam proyek yang disengketakan tersebut. Pertama, menurut Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) terdapat indikasi KBC melakukan mark up untuk pembiayaan proyek tersebut (tentu saja bekerja sama dengan pihak Indonesia). Sebab, menurut API investasi per sumur rata-rata US$3 juta, sehingga biayanya maksimal sekitar US$ 40 juta (KBC mengklaim jumlah expenditure-nya US$100 juta).
        Kedua, berdasarkan klaim asuransi yang sudah diterima KBC dan bukti cadangan yang sebenarnya hanya 60 MW (Kompas 6/6/03). Karenanya, kesanggupan KBC membangun proyek PLTP sebesar 400 MW sebagaimana tercantum dalam kontrak masih diragukan.
        Ketiga, KBC telah menerima klaim asuransi dari Lloyd - London atas penangguhan proyek tersebut sebesar US$75 juta. Artinya -jika yang diasuransikan total project- nilai proyek tersebut US$75 juta (jauh lebih kecil dari tuntutan ganti rugi KBC sejumlah US$100 atas kerugian nilai expenditure KBC).
        Keempat, terdapat selisih nilai proyek yang sudah dilaksanakan (expenditure) yang dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (US$83 juta) dengan yang diajukan pada arbitrase (sekitar US$100 juta).
Tapi, Arbitase Internasional di tahun 2000 telah mengabulkan gugatan KBC dengan menghukum Pertamina membayar ganti rugi US$261 juta (.US$111,1 juta untuk kerugian pengeluaran dan US$150 juta untuk kerugian keuntungan (lost of profit) ditambah bunga empat persen per tahun sejak 1 Januari 2001).
        Pertamina telah mengajukan berbagai upaya hukum untuk membatalkan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional di pengadilan luar negeri tempat aset Pertamina.
        Berdasarkan pasal 5 ayat (2) huruf b dari Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award tanggal 10 Juni 1958 (“Konvensi New York 1958”) - Indonesia telah meratifikasinya dengan Keppres No.34/1981- ditetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dapat ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum (public policy/orde public).
Alasan menolak dengan senjata bertentangan dengan ketertiban umum memang sangat fleksibel. Bahkan kadang terkesan sangat subyektif. Khususnya bagi pihak negara yang dikalahkan. Secara umum ketertiban umum diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan dan keamanan, keadilan, atau tidak bertentangan dengan hukum.
        Dengan mempertimbangkan penangguhan proyek yang didasarkan pada kebijakan negara yang tertuang dalam Keppres, maka pada 27 Agustus 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Pertamina untuk menolak pelaksaan keputusan arbitrase Internasional.
        Alasannya, bertentangan dengan ketertiban umum sebagaimana dimungkinkan oleh pasal 66 UU No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Nasib Aset
        Persoalannya, bagaimana nasib aset Pertamina yang sudah dibekukan oleh pengadilan di luar negeri? KBC telah menggugat untuk pelaksanan putusan Arbitrase di pengadilan New York, Texas, Hong Kong, dan Kanada untuk dapat membekukan aset Pertamina yang ada di negara tersebut.
Pengadilan New York telah membekukan simpanan Pertamina yang ada di Bank of New York. Nasib pertamina akan diputus oleh Supreme Court (Mahkamah Agung /MA) di New Oreleans, Amerika Serikat (AS) pada bulan September 2004 mendatang.
        Karenanya, upaya kepolisian untuk membongkar kasus korupsi pada proyek PLTP Karaha merupakan salah satu upaya mencari bukti baru (novum) selain novum yang berupa pembayaran klaim asuransi dari Llyod-London atas penangguhan proyek tersebut.
Seperti kita ketahui, AS memiliki Foreign Corruption Practice Act (FCPA) 1977 yang telah diubah beberapa kali. Jurisdiksi FCPA menjangkau di luar AS yang melarang praktek korupsi (termasuk penyuapan) yang dilakukan oleh perusahaan AS yang beroperasi di Luar Negeri. Ancamannya, denda hingga US$2 juta untuk badan hukum atau US$ 250 ribu untuk individu dan pidana penjara hingga 5 tahun.
Konon –sebagaimana dikutip Tempo- salah satu sangkaan korupsi yang sedang diusut oleh Polri antara lain status saham PT Sumarah dalam Karaha Bodas. Diduga 10% saham yang dimiliki PT Sumarah dalam Karaha Bodas hanya saham kosong alias tak menyetorkan modal.
        Artinya, patut diduga Karaha Bodas terindikasi melanggar FCPA. Harapannya, jika terbukti hanya saham kosong, maka MA di AS yang akan memutuskan perkara tersebut pada September 2004, akan menolak pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dengan alasan KBC telah telah melanggar UU di Indonesia yang secara substansi melanggar FCPA.
Karenanya, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan di Indonesia harus cepat memproses kasus dugaan korupsi KBC tersebut dan diharapkan dapat diputus sebelum putusan MA di AS. Sungguh suatu upaya kerja yang tidak bisa ditunda-tunda.

Asuransi Investasi
        Sesungguhnya, untuk mengantisipasi resiko penanaman modal asing langsung (terutama di negara berkembang), World Bank (WB) telah memprakarsai Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Konvensi tersebut telah diterima World Bank dalam sidang tahunan 1985 di Seoul (Korea Selatan). Semua negara anggota World Bank dan negara Swiss dapat menjadi anggota MIGA (pasal 4).
        MIGA berkehendak memajukan arus investasi negara peserta Konvensi MIGA (terutama negara berkembang). Caranya, memberikan jaminan terhadap non commercial risk atas penanaman modal (langsung) dalam suatu negara peserta (host country) yang datangnya dari negara peserta lainnya (investor).
Resiko non komersial adalah resiko terhadap (i) transfer moneter, (ii) pencabutan hak milik atau nasionalisasi dan tindakan serupa, (iii) pelanggaran perjanjian (breach of contract), dan (iv) perang atau perang saudara (pasal 11 a). Namun dapat juga diperluas jaminannya asalkan dimohon oleh host country dan investor.
Indonesia telah meratifikasinya dengan menandatangani konvensi tersebut di Washington DC pada 27 Juni 1986 dan menuangkannya dalam bentuk Kepres No.31/1986 tentang Pengesahan Konvensi MIGA.

Mengadili Persepsi?
        Kalau kita cermati, berbagai putusan arbitrase internasional yang mengabulkan gugatan para investor asing akibat penangguhan atau pembatalan proyek di Indonesia adalah lebih merupakan persepsi internasional terhadap buruknya kepastian hukum di Indonesia ketimbang substansi hukum alasan penangguhan atau pembatalan proyek itu sendiri.
        Sebab, sesungguhnya kita mempunyai alasan yang kuat dan mendasar untuk me-review berbagai proyek listrik swasta yang telah disetujui di era Soeharto. Baik itu alasan force majeur karena krisis yang menimpa Indonesia maupun alasan terindikasi korupsi, kolusi, atau nepotisme (“KKN”).
        Semasa pemerintahannya, Soeharto telah menyetujui 27 kontrak listrik swasta yang ditangani perusahan asing dengan bermitra dengan perusahaan lokal milik keluarga dan kroni Soeharto. Dan berbagai kejangggalan akan kontrak itu pun mulai terungkap pasca kejatuhannya.
       Konon, 20 dari 27 proyek listrik swasta itu tidak layak. Bahkan kadang akal-akalan saja (karena sesungguhnya tidak diperlukan). Harga listrik swasta yang harus dibeli PLN terhitung mahal yakni antara US$5,6 sen (Rp504) sampai US$8,6 sen (Rp774) per kWh. Padahal harga listrik PLN saja Rp161 per kWh. Sebagai perbandingan, harga listrik swasta di Thailand, Laos, dan Filipina juga masing-masing sebesar US$4,2 sen, US$1,29 sen, dan 5,3 sen (Trust No.34 Tahun II).
        Jelas transaksi tersebut sangat merugikan Indonesia. Karenanya, meski bukan alasan krisis ekonomi pun semestinya pemerintah Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat untuk me-review berbagai proyek listrik swasta tersebut demi kepentingan konsumen Indonesia.
Apalagi berbagai pembatalan atau penangguhan proyek tersebut diperkuat dengan kondisi krisis ekonomi yang juga telah direkomendasikan IMF. Artinya, bukan alasan subyektif pemerintah RI semata. Apalagi Pertamina.

        Namun, apa daya, citra buruk penegakan hukum di Indonesia lebih menjadi ‘daya tarik’ yang di pertimbangkan Arbitrase Internasional untuk menghukum RI. Kita mesti bersatu untuk memberikan penjelasan yang memadai. Sungguh kali ini Indonesia dalam pihak dan posisi yang benar.
Semoga kasus Pertamina itu dapat menyadarkan kita semua bahwa terkadang persepsi lebih penting ketimbang kondisi obyektif. Sebab, persepsi dibangun dalam kurun yang panjang.

Kamis, 17 Mei 2012

KPK (TIDAK) PUNYA HARAPAN


KPK (TIDAK) PUNYA HARAPAN

            Pada tahun 2005, menurut data Political Economic and Risk Consultancy Indonesia menempati urutan pertama sebagai Negara TERKORUP di Asia. Jika dilihat dalam kenyataan sehari – hari korupsi hampir terjadi di setiap tingkatan dan aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari hal – hal yang kecil sampai hal – hal yang sangat besar misalkan penegakan Hukum di negeri ini.
            Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang lumrah sampai yang dianggap wajar oleh masyarakat umum. Seperti member hadiah kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbalan jasa dari sebuah pelayanan. Kebiasaan itu dianggap lumrah dilakukan sebagai bagian dari kebiasaan Culture Easten (Ketimuran). Kebiasaan koru[tif seperti ini lama – lama akan menjadi bibit – bibit bermutu tinggi yang akan menjadi pangkal dari korupsi nyata.
            Selama ini kosakata korupsi sudah sangat populer di Indonesia. Hampir semua orang pernah mendengar kata Korupsi yang seakan menjamur hampir di setiap telinga masyarakat. Mulai dari rakyat kecil di pedalaman, pegawai negeri sipil, mahasiswa, maupun ibu rumah tangga pernah mendengar kata ini. Tapi bila ditanyakan apa itu Korupsi, jenis perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi? Hampir sangat dipastikan sebagian kecil dapat menjawab dengan tepat pertanyaan tersebut bila dikaitkan dengan Undang – undang.
            Pengertian Korupsi sendiri dapat diartikan secara gamblang termaktub dalam Undang – Undang No. 31 Tahun 2009 jo. UU No. 20 Tahun 2001 yang terbagi dalam beberapa pasal sehingga perbuatan korupsi dapat digolongkan/dikategorikan ke dalam beberapa jenis yaitu, Kerugian Keuangan Negara, Suap-Menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan, Perbuatan Curang, Benturan kepentingan dalam pengedaan dan gratifikasi.
            Seperti yang diketahui bersama bahwa rekor Indonesia sebagai Negara TERKORUP di Asia Pasifik belum terpecahkan oleh Negara – Negara lain, maka dari itu untuk menyelamatkan nama Indonesia dikancah internasional maka pada periode tahun 2002 – 2003 pemerintah membentuk suatu lembaga independen yang mengatasnamakan pemberantasan korupsi membentuk suatu lemabaga yang diberi nama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dituangkan ke dalam Undang – Undang No. 30 Tahun 2002.
            KPK diciptakan demi terwujudnya salah satu tujuan penyelenggaraan Negara, yaitu Penyelenggaraan Negara yang bersih yang menaati asas – asas umum penyelenggraan Negara dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta perbuatan tercela lainnya. Sehingga bahaya laten korupsi bisa hilang dari muka bumi pertiwi serta dapat melaksanakan amanat dari Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi, serta Undang – Undang KPK.
            Dimana hampir semua masyarakat sudah tidak takut lagi melakukan korupsi, maka dari itu KPK ada agar dekadensi moral masyarakat bisa diatasi dengan melakukan hal – hal kecil seperti melakukan penyuluhan – penyuluhan ke sekolah – sekolah maupun ke universitas – universitas. Agar pengetahuan mengenai korupsi sampai ke akar – akarnya bisa dimengerti oleh para tunas penerus bangsa.
            Setelah KPK berumur hampir Sembilan tahun, manfaat – manfaat dari adanya KPK sudah bisa dirasakan oleh masyarakat salah satu contohnya adalah kasus – kasus yang melibatkan para mafia Hukum sudah mulai terkuak ke permukaan sehingga para pejabat yang menjadi dalang dari perbuatan tersebut sudah masuk hotel prodeo dan mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
            Kenetralan KPK sangatlah diperlukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia maka dari itu pimpinan KPK tidaklah mestinya berasal dari orang yang memegang jabatan dalam suatu lembaga Negara dan mestinya berasal dari masyarakat yang memiliki sikap anti terhadap korupsi demi terjaganya independensi KPK yang sejak dibuat menjadi tameng dalam pemberantasan korupsi.
            Tapi semakin tinggi suatu pohon maka semakin kencang angin yang menerpanya, begitu juga terhadap KPK yang sudah memasuki tahun kesembilan cobaan silih berganti menerpa. Seperti yang diketahui bersama salah satu mantan Pimpinan KPK sudah masuk bui akibat dari kriminalisasi kasus. Dimana pimpinan KPK didakwa melakukan perbuatan perencanaan pembunuhan terhadap salah satu Direktur perusahaan ternama di Jakarta. Sampai kasus yang hangat – hangatnya adalah adanya suap ditubuh KPK itu sendiri, pimpinan KPK beserta wakilnya telah dituduh melakukan tindak pidana korupsi sehingga mengundurkan diri dan harus dimintai keterangannya mengenai kasus yang sedang diperikasi oleh penyidik KPK.
            Selain dari pada itu, masih banyak lagi kasus yang menjerat orang – orang dalam KPK sehingga muncullah desas – desus mengenai KPK yaitu KPK akan dibubarkan oleh DPR. Serta Undang – Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK akan direvisi dikarenakan track record dari KPK itu sendiri melenceng dari apa yang diinginkan masyarakat Indonesia.
            Pimpinan KPK terdahulu tak ada yang lepas dari tuntutan hukum, ini adalah akibat dari KPK itu sendiri yang telah berani menangkap orang – orang yang menjadi aktor setiap kasus tindak pidana korupsi. DPR bersama masyarakat menyeleksi delapan calon pimpinan KPK yang baru yang sudah memasuki fit and proper test, semoga dari hasil seleksi calon pimpinan KPK muncul seorang gatot kaca yang dapat memberantas korupsi yang sudah beranak pinang di Indonesia.
            Pejabat Negara silih berganti menjatuhkan KPK dihadapan masyarakat Indonesia agar terprovokasi untuk menyetujui kabar pembubaran KPK di DPR, sehingga orang – orang “besar” di negeri ini semakin gencar dalam melakukan korupsi demi kekayaan untuknya sendiri.
            Keperkasaan KPK pun terus tergerus dimakan zaman, salah satu contohnya adalah adanya beberapa putusan pengadilan tipikor memutuskan membebaskan para terdakwa kasus tindak pidana korupsi yang secara nyata dari hasil penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan oleh KPK dinyatakan telah melakukan tindak pidana korupsi, tapi setelah memasuki ranah pengadilan semua dakwaan terbantahkan seakan KPK sudah tidak punya kapasitas lagi dalam penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi yang ada di kota – kota besar negeri ini.
            Walaupun badai cobaan terus menerjang, KPK masih punya harapan yang sangat besar dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia karena masyarakat Indonesia masih berharap besar terhadap kinerja dari aparat KPK dalam menjalankan tugasnya dalam menyelamatkan uang Negara dari tangan – tangan gurita yang senantiasa mengambil uang rakyat. Tapi masyarakat juga harus ikut ambil andil dalam pemberantasan korupsi dengan salah satu cara yaitu melaporkan bila mengetahui ada indikasi terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi di salah satu lembaga tinggi Negara.
            Semoga eksistensi keberadaan KPK di Negeri ini masih tetap dipertahankan agar pemberantasan korupsi di negeri ini terus berjalan sesuai dengan tujuan dan harapan pembentukan KPK pada awalnya. Biarkanlah KPK menjalankan tugas dan fungsinya tanpa intervensi dari pihak manapun termasuk intervensi dari pemimpin negeri ini.

Kebijakan Fiskal

Pengertian kebijakan fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan untuk mengatur pendapatan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal yang ditempuh untuk mengatasi inflasi diantaranya:
  1. Mengurangi pengeluaran negara.
  2. Penghematan pengeluaran pemerintah (disesuaikan dengan rencana).
  3. Pengurangan utang luar negeri.
  4. Menaikkan atau mengefektifkan pajak.

            Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran negara, di Indonesia, hal ini terkait dengan APBN ( Anggara Pendapatan dan Belanja Negara).
            Kebijakan fiskal bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara optimal. Kebijakan fiskal sangat berhubungan dengan pemasukan atau pendapatan negara, diantara pendapatan negara antara lain misalnya : bea dan cukai, devisa negara, pariwisata, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, impor, dan lain-lain .
            Sedangkan untuk pengeluaran negara misalnya : belanja persenjataan , pesawat, proyek pemerintah, pembangunan sarana dan prasarana umum, atau program lain yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, memang keduanya sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Peraturan tentang Fiskal
PP No. 42 Tahun 2000 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang Akan Bertolak Keluar Negeri.
Pasal 2 :

            Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar oleh Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1adalah :

            a. Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara;

            b. Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut.


PP No. 41 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000 Tentang embayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang Akan Bertolak Ke Luar Negeri

Pasal 1:

            Mengubah ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000, sehingga keseluruhan Pasal 3 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 3

            Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak berlaku terhadap :
  1. Anggota Korps Diplomatik, pegawai perwakilan negara asing, staf dari badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik, dan staf dari Badan/Organisasi Internasional yang mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia dan di samping jabatan resmi tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia;

  1. Anggota keluarga dan pembantu rumah tangga yang bukan Warga Negara Indonesia dari sebagaimana tersebut pada angka 1;

  1. Pejabat Negara, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas yang menggunakan paspor dinas dan dilengkapi dengan surat tugas perjalanan ke luar negeri untuk setiap kali keberangkatan;

  1. Anggota keluarga dari mereka sebagaimana tersebut pada angka 3 dalam hal keberangkatannya ke luar negeri dalam rangka penempatan di luar negeri;

  1. Anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia yang mendapat tugas sebagai pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dalam rangka latihan bersama dengan pasukan negara lain di luar negeri;

  1. Anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil yang melakukan tugas di bidang keamanan dan pelayanan Pemerintah di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan;

  1. Anggota misi kesenian, misi olah raga atau misi keagamaan yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia ke luar negeri dengan persetujuan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Pendidikan Nasional atau Menteri Agama;

  1. Petugas Imigrasi yang melakukan tugas pemeriksaan keimigrasian dalam pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional atau kapal laut perusahaan pelayaran nasional;

  1. Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Agama dan petugas pelaksana pemberangkatan haji yang pembiayaannya dibebankan pada dana Ongkos Naik Haji;

  1. Mahasiswa atau pelajar Indonesia yang akan belajar di luar negeri serta guru Indonesia dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa, pelajar atau guru yang diselenggarakan Pemerintah atau badan asing dengan persetujuan Menteri terkait;

  1. Para pekerja Warga Negara Indonesia yang akan bekerja di luar negeri dalam rangka program pengiriman Tenaga Kerja Indonesia dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

  1. Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah Republik Indonesia dengan menggunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan perjanjian lintas batas dengan Negara terkait;

  1. Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di Pulau Batam yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dan telah memenuhi kewajiban Pajak Penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak Batam;

  1. Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, visa transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, sepanjang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;

  1. Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk negeri tersebut dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, sepanjang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan pembebasan tersebut hanya diberikan untuk 4 (empat) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim;

  1. Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang yang bekerja di Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Karimun, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi kerja;

  1. Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh pemberi penghasilan;

  1. Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari pimpinan sekolah atau perguruan tinggi yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;

  1. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan di bawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau lembaga resmi Pemerintah lainnya serta Departemen Pendidikan Nasional, sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;

  1. Orang asing yang berada di Indonesia dalam pelaksanaan program kerja sama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Negara serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia;

  1. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota misi keagamaan di bawah koordinasi Departemen Agama dan misi kemanusiaan di bawah koordinasi departemen terkait;

  1. Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk meninggalkan Wilayah Republik Indonesia;

  1. Awak dari pesawat terbang dan kapal laut serta kendaraan umum angkutan darat yang beroperasi di jalur internasional atau melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi berdasarkan perjanjian carter pengangkutan;

  1. Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 (satu) orang pendamping, dengan persetujuan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial;

  1. Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerja Sama Ekonomi Sub Regional ASEAN yang bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerja sama, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

  1. Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerja Sama Ekonomi Sub Regional Indonesia-Australia (AIDA) yang bertolak ke Australia melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerja sama kecuali Bali, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

  1. Anak-anak yang berangkat ke luar negeri sepanjang umurnya tidak lebih dari 12 (dua belas) tahun;

  1. Orang Pribadi Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

  1. Orang Pribadi yang berasal dari bekas Propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia dalam status pengungsi, yang telah memutuskan untuk menjadi Warga Negara bekas Propinsi Timor Timur dan akan kembali ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi Palang Merah Indonesia;

  1. Anggota misi dagang atau pameran yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia ke luar negeri dengan persetujuan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.