Selasa, 31 Maret 2015

Latar Belakang Konsep Negara dan Eksistensi Khilafah Islamiyah



       Dalam perspektif Al-Qur’an, negara sebagai institusi kekuasaan diperlukan Islam sebagai instrumen yang efektif untuk merealisasikan ajarannya dalam konteks sejarah. Islam merupakan risalah yang paripurna dan universal. Islam mengatur seluruh masalah kehidupan, serta hubungan antara kehidupan itu dengan sebelum dan sesudah kehidupan. Ia juga memecahkan seluruh masalah manusia, sebagai manusia. Islam juga mengatur interaksi manusia dengan penciptanya, dirinya sendiri, serta sesama manusia di setiap waktu dan tempat. Islam telah membawa corak pemikiran yang khas yang dapat melahirkan sebuah peradaban yang berbeda dengan peradaban mana pun, yang mana melahirkan kumpulan konsepsi kehidupan, membuat perasaan para penganutnya mendarah daging dengan corak peradabannya. Pemikiran-pemikiran yang di bawa Islam juga mampu melahirkan pandangan hidup tertentu, yaitu pandangan halal dan haram, sebuah metode yang unik dalam kehidupan, serta mampu membangun sebuah masyarakat yang pemikiran, perasaan, sistem dan individu-individunya berbeda dengan masyarakat manapun. Al-Qur’an pada dasarnya adalah kitab yang memuat pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, dan perintah moral bagi kepentingan hidup manusia di muka bumi. Petunjuk dan perintah ini bercorak universal, abadi, dan fungsional, sebagai intisari wahyu terakhir. Al-Qur’an bukanlah sebuah wacana hukum atau kitab politik.
            Oleh sebab itu, kitab suci ini tidak pernah berbicara secara gamblang dan rinci tentang bentuk-bentuk masyarakat sipil atau masyarakat non sipil, dan bentuk negara yang harus diciptakan umat sepanjang sejarah. Sekalipun demikian, Al-Qur’an mengisyaratkan dasar-dasar fundamental tentang bangunan masyarakat dan negara yang wajib dijadikan awan bagi penciptaan sebuah potity ( masyarakat dan negara yang teratur ) bagi umat.
            Menurut Al-Farabi (dalam Ahmad, 1964 : 30), mengatakan bahwa negara adalah :

            “ satu tubuh yang hidup, sebagai halnya tubuh manusia; tubuh manusia yang menyusun satu kesatuan “.

            Penerapan hukum-hukum Islam oleh negara-negara di dalam negeri, ketika Negara menerapkan hukum-hukum Islam di dalam wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya, mengatur muamalah, menegakkan hudud, menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin pelaksanaan syiar-syiar ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Semua ini dilaksanakan dengan tata cara yang jelas oleh Islam. Pada waktu Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Rasul, kondisi masyarakat Mekah berikut keyakinannya, nilai-nilainya, perasaan, serta hukum-hukum yang dianut di tengah-tengah masyarakat sama sekali tidak Islami. Dengan latar belakang seperti ini, tahap pembinaan dimanfaatkan Rasulullah saw untuk membangun akidah Islam dalam diri para pengikutnya serta memperkokoh keimanan mereka kepada Allah SWT. Tahap ini digunakan untuk mengganti nilai-nilai jahiliyah dengan konsep tauhid, yakni keesaan Allah SWT. Rasulullah SAW mengumpulkan para pengikutnya di Dar al-Arqam dan membentuk kepribadian mereka sesuai petunjuk Al-Qur’an.
            Hijrahnya Rasullah dari Mekah ke Madinah, pada tahun ke-23 kenabian atau 622 Masehi membuka era baru bagi Nabi Muhammad dalam rangka menyebarkan Islam sebagai agama. Tujuan utama dari hijrah dari Mekah ke Madinah adalah untuk mendirikan masyarakat muslim di bawah naungan negara Islam (Yusuf Qardawy, 1999). Nama Madinah, yang digunakan untuk menggantikan Yatsrib tidak sekedar berarti “kota”. Nama itu memiliki pengertian yang lebih luas lagi, yaitu kawasan tempat menetap dan bermasyarakat mereka yang memiliki tamaddun peradaban dan budaya, yang mencakup daulah (negara) dan hukumah (pemerintahan) (Mohammad Shoelhi, 2003). Di belakang kata Madinah, ditambahkan kata Munawwarah atau Madinah Al Munawwarah. Artinya, negara dan pemerintahan yang diberi cahaya wahyu.
            Setelah Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, ajaran Islam dilengkapi dengan perincian hukum-hukum ibadah, demikian pula aturan-aturan yang menyangkut tata kehidupan bermasyarakat. Kemudian pada periode Madinah inilah dimulai pembentukan masyarakat. Hubungan antara umat Islam dan bukan umat Islam mulai diatur yang mana sikap kaum kafir Quraisy terhadap umat Islam perlu pelayanan yang dicerminkan dalam aturan-aturan hukum antarnegara. Perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masyarakat mengenai berbagai macam hal diselesaikan melalui pengadilan. Ringkasnya, syari’at Islam yang diturunkan dalam periode Madinah ini telah memerlukan adanya lembaga yang mengelolanya (Ahmad Azhar Basyir, 1984).
            Lembaga yang diperlukan itu tidak lain ialah sebuah negara. Tanpa adanya sebuah negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta system kehidupan akan menjadi pudar, yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata (Abdul Qadim Zallum, 2002). Karena itulah, negara Islam harus senantiasa ada dan keberadaannya juga tidak boleh hanya sementara saja.
            Demikianlah untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam lahir negara di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw sendiri. Dalam periode Madinah inilah ayat-ayat Al-Qur’an tentang tata hidup kemasyarakatan berangsur-angsur diwahyukan selama hampir kurang lebih sepuluh tahun kepada Nabi Muhammad saw. Diantara ayat-ayat yang diturunkan pada periode Madinah ini yang merupakan pedoman bagi hidup bernegara adalah antara lain Al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4) ; 59 yang berbunyi:
            “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika diantara kamu berlainan pendapat tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)”.
            Disebutkan diayat di atas dengan adanya ulil amri tersebut memberikan isyarat kepada kita bahwa adanya ulil amri untuk dapat terselenggaranya kehidupan kemasyarakatan umat Islam itu memang diperlukan dan jika telah terjadi, rakyat wajib mentaatinya. Dari segi lainnya, diletakkannya perintah taat kepada ulil amri setelah perintah taat kepada Allah dan Rasulnya itu mengandung
ajaran pula bahwa kewajiban taat kepada ulil amri itu dikaitkan kepada adanya syarat bahwa ulil amri dalam melaksanakan pimpinannya harus berpedoman teguh pada ajaran-ajaran Allah dalam Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Rasul-Nya dalam sunnah.
            Demikianlah untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam lahir negara dibawah pimpinan Nabi Muhammad saw sendiri. Dalam periode Madinah inilah ayat-ayat Al-Qur’an tentang tata kehidupan kemasyarakatan berangsur-angsur diwahyukan selama sepuluh tahun kepada Nabi Muhammad saw. Diantara ayat yang turun dalam periode ini merupakan pedoman hidup bernegara adalah Al-Qur’an Surah An-Nisa’ (4): 59 yang mengajarkan :
            Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikalah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu).”

Al-Maududi menegaskan bahwa (Mohd.Azizuddin Mohd .Sani, 2002 : 59 :
            “ Negara dan pemerintahan Islam bukanlah boleh lahir secara mukjizat dengan tiba-tiba sempurnanya (meskipun Allah SWT bisa melakukannya), ia mestilah melalui suatu usaha yang besar dan menyeluruh termasuklah proses pentarbiyahan serta pembentukan fikiran rakyat umum”.
            Sejalan dengan ketentuan bahwa asas negara menurut ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tujuan negara menurut ajaran Islam adalah terlaksananya ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunah Rasul dalam kehidupan masyarakat, menuju kepada tercapainya kesejateraan hidup di dunia, material dan spritual, perseorangan dari kelompok serta mengantarkan kepada tercapainya kebahagian hidup di akhirat kelak.
            Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menjawab mengenai akan bangkitnya al-Islam melalui tegaknya Khilafah Islam. Salah satunya adalah seperti diisyaratkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat an-Nur ayat 55 :
            Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang mengerjakan amalan-amalan shaleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan berkuasanya orang-orang sebelum mereka. Sungguh, Dia pasti meneguhkan bagi mereka dien yang diridhai-Nya dan Dia benar-benar akan mengembalikan keadaan mereka setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa; (dengan syarat) mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan–Ku dengan sesuatu apapun. Siapa saja kafir setelah janji itu, mereka-lah orang-orang fasiq. “
            Kemudian Rasullah SAW bersabda dalam hadist Imam Ahmad yang diriwayatkan dari al-Bazar, yang mafhumnya :
ü  “ telah datang masa kenabian, atas kehendak Allah, kemudian berakhir.
ü  Setelah itu, akan datang Khilafah rasyidah sesuai garis kenabian, atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir.
ü  Lalu, akan datang masa kekuasaan Islam yang didalamnya terdapat banyak ke-zhalim-an, atas kehendak Allah, kemudian berakhir pula.
ü  Lantas, akan datang jamannya para diktator, atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir pula.
ü  Dan terakhir, akan datang kembali masa khilafah rasyidah yang selaras dengan garis kenabian, sehingga Islam akan meliputi seluruh permukaan bumi.

            Fenomena berkembangnya fundamentalisme Islam dalam hal perjuangan menerapkan Islam secara Kaffah (dalam segala Aspek kehidupan) nampaknya akan terus menguat. Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, hal ini sudah menjadi hal yang lazim di berbagai negara di dunia Islam. Bila kita amati berkembangnya keinginan untuk menegakkan Islam secara Kaffah bukanlah dikarenakan oleh peningkatan pemahaman terhadap nilai-nilai agama, melainkan lebih karena bentuk kekecewaan terhadap sistem yang sudah ada dimana dianggap gagal memberikan kesejahteraan, keadilan. Maka dari itu pada dasarnya fundamentalisme Islam tidak perlu disikapi dengan apriori ataupun phobi, sebab sebenarnya mereka berusaha menawarkan sebuah solusi yang menurut mereka dapat menjawab kegagalan sistem yang ada sekarang[1].
            Indonesia sebagai populasi muslim terbesar di dunia juga dapat dikatakan sebagai salah satu simbol kekuatan Islam yang ada saat itu. Walaupun dalam konstitusi Negara Indonesia tidak disebutkan bahwa Indonesia adalah Negara muslim, namun pada kenyataannya Islam cukup mengambil peranan penting dalam kehidupan sosial politik di Negara ini. Sejak sebelum lahirnya Indonesia (masih dengan nama Nusantara) Islam telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat nusantara terutama sejak berkuasanya kerajaan Islam. Bahkan seiring dengan perkembangannya pada masa colonial Islam tetap memiliki eksistensi tersendiri dalam hal perjuangan melawan penjajah. Berbagai bentuk perjuangan yang dilakukan oleh lascar-laskar Islam dalam melawan penjajahan menunjukkan Islam telah memiliki eksistensi yang cukup kuat jauh sebelum muncul ide tentang Indonesia.
            Perjuangan umat Islam di nusantara nampaknya tidak hanya sampai melawan penjajahan dan memperoleh kemerdekaan, tapi berlanjut kepada perjuangan menegakkan Islam sebagai aturan hidup bernegara. Hal ini dapat kita lihat dari awal mula pembentukan konstitusi di awal kemerdekaan Indonesia dimana pada Piagam Jakarta termaktub gagasan tentang pelaksanaan syariat Islam bagi para pemeluknya. Kelompok-kelompok Islam fundamental pada saat itu memperjuangkan syariat tidak hanya sebagai suatu bentuk eksistensi namun juga sebagai jalan hidup yang memang diyakini sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Tentunya hal ini akan kembali menimbulkan pertentangan dengan golongan lainnya (nasionalis dan agama lainnya). Bila kita melihat dari sudut pandang sejarah memang kita akan jumpai bahwa umat Islam di Indonesia sejak dulu telah memperlihatkan sebuah bentuk eksistensi yang kemudian mengarah pada penerapan hukum Islam bahkan bentuk negara Islam sebagai sebuah kewajiban menjalankan perintah agama. Dengan kata lain dikatakan bahwa isu negara pembentukan negara Islam ataupun penegakan Syariat Islam bukanlah hal yang baru dalam rangkaian perjalanan panjang bangsa ini. Begitu pula dengan hambatan yang dihadapinya, selalu saj mendapat pertentangan dari kelompok lainnya. Walaupun akhirnya tetap saja bentuk negara Indonesia hingga sekarang masih tetap bentuk negara Republik Indonesia dan bukanlah negara Islam ataupun negara Agama.
            Dalam perjalanan bangsa ini (dalam konteks Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan) walaupun prinsip – prinsip keIslaman tidak berhasil menjadi konstitusi negara ini, namun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam prakteknya Islam tetap berpengaruh besar di negara ini, hal ini tentunya dikarenakan Indonesia adalah negara mayoritas muslim dan banyak pemikir-pemikir Islam yang turut andil dalam percaturan politik nasional, walaupun tidak berada dalam sebuah sistem politik Islam namun tetap saja simbol-simbol keIslam dinilai penting sebagai suatu bentuk Eksisitensi dalam kancah politik Indonesia.
            Islam sebagai sebuah peradaban memang pernah berjaya dimasa silam dan semasa berjayanya pemerintahan Islam memang belum pernah di temukan adanya bentuk negara seperti yang ada sekarang (bentuk negara nasional). Kekuasaan Islam pernah berjaya secara Global dalam bentuk yang unik dan berciri sendiri. Maka dalam perkembangannya sekarang tidak heran bila kita jumpai kelompok kelompok Islam fundamentalis anti-demokrasi dan menganggap tidak perlu meniru sistem yang berasal dari Barat karena meyakini bahwa dalam Islam telah ada bentuk pemerintahan sendiri.


[1] Afdlal dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta : LIPI Press, 2005. Hlm. 292

Rabu, 11 Maret 2015

Pengantar Kriminologi


Pendahuluan.
Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil definisinya secara etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu /pengetahuan tentang kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali (1879) digunakan oleh P. Topinard, ahli dari perancis dalam bidang antropologi, sementara istilah yang sebelumnya banyak dipakai adalah antropologi criminal.

Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena social, termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.
Bonger mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan seluas-luasnya.

Sejarah kriminologi.
Meskipun Kriminologi bisa dianggap sebagai ilmu pengetahuan baru yang diakui baru lahir pada abad ke-19 ( sekitar tahun 1850 ) bersamaan dengan ilmu sosiologi tetapi karangan-karangan tentang kriminologi bisa ditemukan pada zaman kuno yaitu zaman Yunani dimulai dengan karangan Plato dalam “Republiek” menyatakan antara lain bahwa emas , manusia adalah sumber dari banyak kejahatan sedangkan Aristotelis menyatakan bahwa kemiskinan adalah sumber dari kejahatan. Kemudian abad pertengahan Thomas Aqunio menyatakan bahwa “orang kaya memboros-boroskan kekayaanya disaat dia jatuh miskin maka dia akan mudah menjadi pencuri”


Perkembangan hukum pidana pada Akhir abad ke 19 yang dirasakan sangat tidak memuaskan membuat para ahli berfikir mengenai efektifitas hukum pidana itu sendiri, Thomas Moore melakukan penelitian bahwa sanksi yang berat bukanlah faktor yang utama untuk memacu efektifitas hukum pidana buktinya lewat penelitiannya ditemukan bahwa para pencopet tetap beraksi disaat dilakukan hukuman mati atas 24 penjahat di tengah-tengah lapangan. Ini membuktikan bahwa sanksi hukum pidana tidak berarti apa-apa. Ketidakpuasan terhadap hukum pidana, Hukum acara pidana dan sistem penghukuman menjadi salah satu pemicu timbulnya kriminologi.
Perkembangan ilmu statistik juga mempengaruhi timbulnya kriminologi. Statistik sebagai pengamatan massal dengan menggunakan angka-angka yang merupakan salah satu pendorong perkembangan ilmu sosial.
 

Quetelet (1796-1829) ahli statistik yang pertama kali melakukan pengamatan terhadap kejahatan. Dialah yang pertama kali membuktikan bahwa kejahatan adalah fakta yang ada dimasyarakat, dalam penelitiannya Quetelet menemukan bahwa kejahatan memiliki pola-pola yang sama setiap tahunnya maka beliau berpendapat bahwa kejahatan dapat diberantas dengan meningkatkan/ memperbaiki kehidupan masyarakat.
 

Sarjana lain yang menggunakan statistik dalam pengamatan terhadap kejahatan adalah G Von Mayr ( 1841-1925) ia menemukan bahwa perkembangan antara tingkat pencurian dengan tingkat harga gandum terdapat kesejajaran (positif). Bahwa tiap-tiap kenaikan harga gandum 5 sen dalam tahun 1835 – 1861 di bayern. Jumlah pencurian bertambah dengan 1 dari antara 100.000 penduduk. Dalam perkembangannya ternyata tingkat kesejajaran tidak selalu tampak. Karena adakalanya berbanding berbalik ( invers) antara perkembangan ekonomi dengan tingkat kejahatan.
Sebutan kriminologi sendiri diperkenalkan oleh Topinard ( 1830-1911) seorang ahli antropologi dari perancis.

Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi
Yang dimaksud dengan aliran pemikiran disini adalah cara pandang (kerangka acuan, Paradigma, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.

Oleh karena pemamahaman kita terhadap dunia social terutama dipengaruhi oleh cara kita menafsirkan peristiwa-peristiwayang kita alami/lihat, sehingga juga bagi para ilmuwan cara pandang yang dianutnya akan dipengaruhi wujud penjelasan maupun teori yang dihasilkannya. Dengan demikian untuk dapat memahami dengan baik penjelasan-penjelasan dan teori-teori dalam kriminologi perlu diketahui perbedaan aliran pemikiran/paradigma dalam kriminologi.
 

Teori adalah bagian dari suatu penjelasan mengenai sesuatu sementara suatu penjelasan dipandang sebagai masuk akal akan dipengaruhi oleh fenomena tertentu yang dipersoalkan didalam keseluruhan bidang pengetahuan. Adapun keseluruhan bidang pengetahuan tersebut merupakan latar belakang budaya kontemporer yang berupa dunia informasi. Hal-hal yang dipercayai ( belief ) dan sikap-sikap yang membangun iklim intelektual dari setiap orang pada suatu waktu dan tempat tertentu.

Didalam sejarah intelektual terhadap masalah “penjelasan” ini secara umum dapat dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yakni pendekatan spiritistik atau demonologik dan pendekatan naturalistic, yang kedua-duanya merupakan pendekatan yang dikenal pada masa kuno maupun modern.

Penjelasan demonologik mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit ( roh). Unsur utama dalam penjelasan spiristik adalah sifatnya yang melampaui dunia empiric; dia tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek dari control atau pengetahuan manusia yang bersifat terbatas.
Pada pendekatan naturalistik penjelasan diberikan secara terperinci dengan melihat dari segi obyek dan kejadian-kejadian dunia kebendaan dan fisik. Secara garis besar pendekatan ini dibagi tiga bentuk sistem pemikiran atau bisa disebut sebagai paradigma yang digunakan sebagai kerangka untuk menjelaskan fenomena kejahatan, adapun ketiga paradigma/ aliran ini adalah aliran klasik, positivisme dan aliran kritis.

a. Aliran Klasik
Aliran ini mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi mampu membawa manusia untuk berbuat mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti lain ia adalah penguasa dari dirinya sendiri. Ini adalah pokok pikiran aliran klasik dengan dilandasi pemikiran yang demikian maka penjahat dilihat dari batasan-batasan perundang-undangan yang ada.
Kejahatan dipandang sebagai pelanggaran terhadap undang-undang hukum pidana, penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Secara rasionalitas maka tanggapan masyarakat adalah memaksimalkan keuntungan dan menekan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan. Kriminologi disini sebagai alat untuk menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan kejahatan.
Salah satu tokoh dalam aliran ini adalah Cesare Beccaria ( 1738 – 1794 ) merupakan tokoh yang menentang kesewenang-wenangan lembaga peradilan pada saat itu. Dalam bukunya Dei Delitti e delle pene secara gamblang dia menyebutkan keberatan-kebaratannya atas hukum pidana.
Aliran ini melahirkan aliran Neo-Klasik dengan ciri khas yang masih sama tetapi ada beberapa hal yang diperbaharui antara lain adalah kondisi si pelaku dan lingkungan mulai diperhatikan. Hal ini dipicu oleh pelaksanaan Code De Penal secara kaku dimana tidak memperhitungkan usia, kondisi mental si pelaku, aspek kesalahan. Semua faktor tersebut tidak menjadi pertimbangan peringanan hukuman, penjatuhan hukuman dipukul rata berdasarkan prinsip kesamaan hukum dan kebebasan pribadi.


b. Aliran Positivisme
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor diluar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologi maupun kultural. Ini berarti manusia bukanlah mahluk yang bebas untuk mengikuti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi mahluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat biologinya dan situasi kulturalnya. Manusia berubah bukan semata-mata akan intelegensianya akan tetapi melalui proses yang berjalan secara perlahan-lahan dari aspek biologinya atau evolusi kultural. Aliran ini melahirkan dua pandangan yaitu Determinisme Biologik yang menganggap bahwa organisasi sosial berkembang sebagai hasil individu dan perilakunya dipahami dan diterima sebagai pencerminan umum dari warisan biologik. Sebaliknya Determinis Kultural menganggap bahwa perilaku manusia dalam segala aspeknya selalu berkaitan dan mencerminkan ciri-ciri dunia sosio kultural yang melingkupinya. Mereka berpendapat bahwa dunia kultural secara relatif tidak tergantung pada dunia biologik, dalam arti perubahan pada yang satu tidak berarti akan segera membuat perubahan yang lainnya.
Salah satu pelopor aliran positivis ini adalah Cesare Lombrosso (1835-1909) seorang dokter dari itali yang mendapat julukan Bapak Kriminologi Modern lewat teorinya yang terkenal yaitu Born Criminal, Lombrosso mulai meletakkan metodologi ilmiah dalam mencari kebenaran mengenai kejahatan serta melihatnya dari banyak faktor.
 

Teori Born Criminal ini di ilhami oleh teori evolusi dari darwin. Lombrosso membantah mengenai Free Will yang menjadi dasar aliran klasik. Doktin Avatisme membuktikan bahwa manusia menuruni sifat hewani dari nenek moyangnya. Gen ini dapat muncul sewaktu-waktu dan menjadi sifat jahat pada manusia modern.
Dalam perkembangan teorinya bahwa manusia jahat dapat dilihat dari ciri-ciri fisiknya lewat penelitian terhadap 3000 tentara dan narapidana lewat rekam mediknya beberapa diantaranya telingan yang tidak sesuai ukuran, dahi yang menonjol, hidung yang bengkok.
Pada dasarnya teori lombrosso ini membagi penjahat dengan empat golongan, yaitu :

  1. Born Criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat seperti paham avatisme
  2. Insane Criminal yaitu orang termasuk dalam golongan orang idiot, embisil,dan paranoid
  3. Ocaccasial criminal atau criminaloid adalah pelaku kejahatan yang berdasarkan pada pengalaman yang terus menerus sehingga mempngaruhi pribadinya.
  4. Criminal of Passion yaitu orang yang melakukan kejahatan karena cinta, marah atapun karena kehormatan.

c. Aliran Kritis
Pemikiran Kritis lebih mengarhkan kepada proses manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup. Menurut aliran ini tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentutakan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalanka. Sehubungan denga itu maka tugas dari kriminologi adalah bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu.
Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan “interaksionis” dan “konflik”. Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal di masyarakat tertentu dengan cara mempelajari “persepsi” makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Mereka juga mempelajari kejahatan oleh agen kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat, juga proses sosial yang dimiliki kelompok bersangkutan dalam mendifinisikan seseorang sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dijelaskan dalam konsep “penyimpangan” ( deviance ) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai bagian dari “penyimpangan sosial” dengan arti tindakan yang bersangkutan “berbeda” dengan tindakan orang pada umumnya dan terhadap tindakan menyimpang ini diberlakukan reaksi yang negatif dari masyarakat.
Menurut pendekatan “konflik” orang berbeda karena kekuasaan yang dimilikinya dalam perbuatan dan bekerjanya hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa mereka yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam mendifinisikan kejahatan adalah sebagai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri. Secara umum kejahatan sebagai kebalikan dari kekuasaan; semakin besar kekuasaan seseorang atau sekelompok orang semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan kejahatan dan demikian juga sebaliknya.
Orientasi sosio-psikologis teori ini pada teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dari perilaku kolektif.
Dalam pandangan teori ini bahwa manusia secara terus menerus berlaku uintuk terlibat dalam kelompoknya dengan arti lain hidupnya merupakan bagian dan produk dari kumpulan kumpulan kelompoknya. Kelompok selalu mengawasi dan berusaha untuk menyeimbangkan perilaku individu-individunya sehingga menjadi suatu perilaku yang kolektif.


Dalam perkembangan lebih lanjut aliran ini melahirkan teori “kriminologi Marxis” dengan dasar 3 hal utama yaitu; (1) bahwa perbedaan bekerjanya hukum merupakan pencerminan dari kepentingan rulling class (2) kejahatan merupakan akibat dari proses produksi dalam masyarakat, dan (3) hukumj pidana dibuat untuk mencapai kepentingan ekonomi dari rulling class.

Pengertian Buruh



          Pengertian buruh pada saat ini di mata masyarakat awam sama saja dengan pekerja, atau tenaga kerja. Padahal dalam konteks sifat dasar pengertian dan terminologidiatas sangat jauh berbeda. Secara teori, dalam kontek kepentingan, didalam suatu perusahaan terdapat 2 (dua) kelompok yaitu kelompok pemilik modal (owner) dankelompok buruh, yaitu orang-orang yang diperintah dan dipekerjanan yang berfungsisebagai salah satu komponen dalam proses produksi. Dalam teori Karl Marx tentangnilai lebih, disebutkan bahwa kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih disebutsebagai majikan dan kelompok yang terlibat dalam proses penciptaan nilai lebih itudisebut Buruh.

          Dari segi kepemilikan kapital dan aset-aset produksi, dapat kita tarik  benang merah, bahwa buruh tidak terlibat sedikitpun dalam kepemilian asset, sedangkanmajikan adalah yang mempunyai kepemilikan aset. Dengan demikian seorang manajer atau direktur disebuah perusahaan sebetulnya adalah buruh walaupun mereka mempunyaiembel-embel gelar keprofesionalan.Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk pada prosesdan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinyasendiri pula. Contoh pekerja ini antara lain Petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buatsendiri. Istilah tenaga kerja di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk menggantikata buruh yang mereka anggap kekiri-kirian dan radikal.

     Untuk memperoleh pengertian yang jelas tentang bisa atau tidaknyaseseorang yang bukan pekerja/buruh untuk menjadi anggota atau pemimpin SerikatPekerja/Buruh maka harus dilihat batasan istilah pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Buruhdalam peraturan perundang-undangan kita.Batasan istilah buruh/pekerja diatur secara jelas dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 13Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
 
”Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalandalam bentuk lain”
 

Selanjutnya batasan istilah Serikat Pekerja/Buruh diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Serikat Pekerja/Buruh:

 ” Serikat Pekerja/Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk  pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas,terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung-jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.”

Dari kedua pasal diatas kita mendapat pengertian yang limitatif sebagai berikut:
 ” Bahwa Serikat Pekerja/Buruh dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh dan pekerja/buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” 

       Dengan demikian tertutup kemungkinan bagi seseorang yang bukan pekerja/buruh untuk menjadi anggota atau bahkan menjadi pemimpin Serikat Pekerja/Buruh.Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh dijelaskan bahwa Serikat Pekerja/Buruh mempunyai fungsi:
”Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya”Selanjutnya Pasal 4 ayat (2) huruf f Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh dijelaskan bahwa Serikat Pekerja/Buruh mempunyai fungsi: ”Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan”. Pengertian ”wakil” dalam dua pasal di atas seseorang atau kelompok yang bertindak atasnama kelompok yang lebih besar. Karena tidaklah mungkin seluruh buruh terlibat dalamlembaga kerja sama dan tidak mungkin seluruh pekerja/buruh terlibat dalam perundinganmemperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan.

 
Kedua pasal tersebut memberi batasan limitatif bahwa wakil pekerja adalah orang yang juga pekerja/buruh. Pengertian ”wakil” dalam pasal di atas bukanlah sekedar sebagai ”orang yang dikuasakanuntuk menggantikan orang lain”. Karena pengertian wakil ”orang yang dikuasakan untuk menggantikan orang lain” secara terbatas hanya dikenal dalam profesi Advokat yangdiatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat