Suatu negara yang hendak menjadi
negara pihak peserta dapat saja mengajukan suatu reservasi terhadap suatu
ketentuan atau beberapa ketentuan tertentu yang terdapat dalam suatu perjanjian
multilateral karena ketentuan-ketentuan itu tidak sesuai dengan kepentingan
nasional dari negara yang mengajukan reservasi. Akan tetapi dalam membuat dan
mengajukan reservasi, harus diketahui adanya pembatasan-pembatasan tertentu
terhadap hak suatu negara untuk mengajukan reservasi ataupun
pembatasan-pembatasan terhadap materi dari reservasi itu sendiri.
Pembatasan-pembatasan tersebut dapat
ditemukan atau dilihat dalam ketentuan pasal 19 dari Konvensi Wina 1969
mengenai Hukum Perjanjian. Ketentuan pasal 19 pada prinsipnya menyatakan bahwa
setiap negara berhak mengajukan reservasi kecuali bahwa I) Perjanjian melarang
negara-negara peserta melakukan reservasi atau terdapat ketentuan dalam perjanjian atau konvensi itu
sendiri yang melarang negara-negara peserta untuk mengajukan reservasi.
Larangan tersebut dapat ditujukan baik terhadap keseluruhan materi ketentuan
dalam konvensi ataupun hanya terbatas pada pasal-pasal tertentu saja yang
terdapat dalam konvensi tersebut. Contoh-contoh yang dapat dikemukakan antara
lain adalah pertama, Konvensi Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen (Geneva
Convention on the Continental Shelf) tanggal 29 April 1958 yang di dalam pasal
12 dari Konvensi ini memuat larangan bagi negara-negara peserta untuk melakukan
reservasi khusus terhadap pasal 1, 2 dan 3 dari Konvensi yang bersangkutan
(Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta,
1978, Hlm.242). Contoh kedua adalah Konvensi mengenai Kerugian yang disebabkan
oleh Pesawat Udara Asing terhadap Pihak Ketiga di atas Permukaan Bumi
(Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on Surface)
tanggal 7 Oktober 1952, di mana pasal 39 dari Konvensi ini sama sekali tidak
memperkenankan negara-negara peserta untuk melakukan reservasi.
Di samping
perjanjian yang tidak memperkenankan untuk mengadakan reservasi, maka hukum
kebiasaan internasional juga melarang atau tidak memperkenankan dilakukannya
reservasi. Adanya larangan untuk melakukan reservasi berdasarkan kaidah hukum
kebiasaan internasional antara lain adalah pertama, reservasi terhadap
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Piagam PBB (The UN Charter) terutama
bagi negara-negara yang akan masuk menjadi anggota dari Organisasi PBB. Kedua,
berdasarkan hukum kebiasaan internasional, maka negara-negara juga tidak
diperkenankan untuk melakukan reservasi terhadap reservasi atas suatu ketentuan
dalam perjanjian multilateral (reservation against reservation).
II)
Ketentuan pasal 19 Konvensi Wina 1969 juga menyatakan bahwa setiap negara
berhak untuk mengajukan reservasi kecuali kalau perjanjian menetapkan bahwa
reservasi yang diperkenankan hanyalah reservasi yang bersifat khusus (specified
reservation) yang tidak termasuk di dalam reservasi yang bermasalah
(reservation in question). Istilah reservasi khusus (specified reservation)
tidak dijelaskan pengertiannya sehingga menimbulkan persoalan. Menurut Boer
Mauna, yang dimaksud dengan istilah reservasi khusus (specified reservation)
adalah suatu reservasi yang materinya telah ditentukan secara khusus atau
terperinci dalam perjanjian yang bersangkutan sehingga reservasi seperti itu
diperkenankan untuk dilakukan atau tidak dilarang. Sedangkan reservasi yang
memuat materi yang berada di luar materi-materi yang telah ditentukan secara
terperinci dalam perjanjian yang bersangkutan, reservasi semacam ini dilarang
dan tidak diperkenankan untuk melakukannya. Apabila ada negara yang melakukan
reservasi atas suatu materi atau ketentuan yang tidak disebutkan secara
terperinci dalam perjanjian untuk dilakukan reservasi, maka reservasi seperti
ini yang dinamakan reservation in question sehingga reservasinya dianggap tidak
sah.
III) Selanjutnya
sesuai pasal 19 dari Konvensi Wina 1969 suatu negara juga dapat mengajukan
reservasi terkecuali reservasi itu tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
daripada perjanjian (incompatible with the object and purpose of the treaty).
Dengan mempergunakan penafsiran a contrario, dapat dikatakan bahwa apabila
reservasi yang diajukan itu sesuai (compatible) dengan maksud dan tujuan dari
perjanjian itu, maka hak untuk mengajukan reservasi tetap ada meskipun
reservasi tidak diatur secara tegas dalam perjanjian yang bersangkutan ( I.M.
Sinclair, Hlm. 43). Demikian pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh
setiap negara yang berkeinginan menjadi peserta atau pihak pada perjanjian,
tetapi disertai dengan suatu reservasi atas suatu ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian multilateral, sebagaimana diatur berdasarkan pasal 19 Konvensi Wina
1969.
Dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan Konvensi Wina1969 mengenai pensyaratan atau reservasi
maupun praktek negara-negara, termasuk praktek RI selama ini dalam hubungan
dengan reservasi, maka Undang-Undang No.24 Tahun 2000 dalam pasal 8 ayat 1
menyatakan bahwa Pemerintah RI dapat melakukan pensyaratan dan atau pernyataan,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut. Penjelasan
ayat ini menyebutkan bahwa pensyaratan dan pernyataan dilakukan atas perjanjian
internasional yang bersifat multilateral dan dapat dilakukan atas suatu bagian
perjanjian internasional sepanjang pensyaratan dan pernyataan tersebut tidak
bertentangan dengan maksud dan tujuan dibuatnya perjanjian tersebut.
Pensyaratan hanya dapat dilakukan apabila tidak dilarang oleh perjanjian
internasional tersebut. Dengan pensyaratan atau pernyataan terhadap suatu
ketentuan perjanjian internasional, Pemerintah RI secara hukum tidak terikat
pada ketentuan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasal 8 dari
Undang-Undang No.24 Tahun 2000 melakukan penggabungan antara ketentuan hukum
mengenai pensyaratan (reservation) dengan ketentuan mengenai penafsiran
(interpretation), di mana yang disebut terakhir ini disebut dengan istilah
pernyataan (declaration). Penggabungan atau penyatuan kedua ketentuan hukum ini
adalah sesuatu yang wajar sebab kedua-duanya mempunyai tujuan untuk
mengesampingkan berlakunya ketentuan pasal dalam perjanjian internasional yang
dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepentingan dari negara yang
mengajukan reservasi. Untuk mengesampingkan berlakunya ketentuan pasal yang
terdapat dalam perjanjian yang bersangkutan, maka negara dalam hal ini RI dapat
menerapkan pensyaratan (reservation) dan atau pernyataan (declaration).
Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 8 ayat 2 disebutkan pensyaratan
dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian
internasional harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian
tersebut. Apabila pensyaratan dan pernyataan dibuat dan dirumuskan pada saat
penandatanganan perjanjian untuk kemudian ditegaskan dan dikukuhkan kembali
pada saat pengesahan perjanjian, maka pengukuhan atau penegasan kembali
tersebut harus dituangkan melalui instrument pengesahan seperti membuat piagam
ratifikasi atau piagam aksesi. Pensyaratan dan pernyataan yang ditetapkan oleh Pemerintah RI
dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata
cara yang ditetapkan dalam perjanjian internasional. Demikian ketentuan
normatif soal pensyaratan (reservation) terutama pembatasan-pembatasan yang
harus mendapat perhatian ketika Pemerintah RI perlu mengajukan reservasi atas
suatu perjanjian multilateral sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-Undang
No.24 Tahun 2000. Bersamaan dengan itu ketentuan pasal 8 Undang-Undang tersebut
mencerminkan pula secara tersirat adanya penerapan doktrin Pan Amerika karena
Undang-Undang itu berpedoman pada Konvensi Wina 1969 terkait dengan masalah
reservasi.