Rabu, 27 Mei 2015

Dasar - dasar harta perkawinan menurut hukum.



A. Pengertian Harta Perkawinan
Harta perkawinan menurut hukum adalah semua harta yang dikuasai, suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.

B. Macam-Macam Harta Perkawinan
1. Harta Bawaan
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan. Macam-macam harta bawaan adalah :
a. Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam pernikahan yang berasal dari peninggalan orang taua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatanya guna kepentingan para ahli waris bersama, di kerenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris.
b. Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga.
c. Harta wasiat adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari hibah atau wasiat anggota kerabat.
d. Harta pemberian atau hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian atau hadiah para anggotas kerabat dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik.

2. Harta Penghasilan
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah perkawinan. Harta penghasilan pribadi ini terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, pemiliknya dapat melakukan transaksi atas harta tersebut tanpa bermusyawarah dengan para anggota kerabat yang lain.

3. Harta Pencaharian
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri bersama-sama selama perkawinan tanpa mempersoalkan apakah dalam mencari harta kekayaan itu suami aktif bekerja sedangkan istri mengurus rumah tangga dan anak-anak, kesemua harta kekayaan yang didapat suami istri itu adalah hasil pencarian mereka yang berbentuk harta bersama suami istri.

4. Hadiah Perkawinan
Adalah harta yang diperoleh suami istri bersama ketiaka upacara perkawinan sebagai hadiah. Hadiah perkawinan yang diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan dimasukkan dalam harta bawaan suami sedangkan yang diterima mempelai wanita sebelum upacara perkawinan masuk dalam harta bawaan istri dan semua hadiah yang disampaikan ketika kedua mempelai duduk bersanding dan menerima ucapan selamat dari para hadirin adalah harta bersama kedua suami istri terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat atau hanya dibawah pengaruh orang tua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan hartanya diperuntukkan kedua mempelai bersangkutan.
 
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 25 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menajdi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adlah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, dan apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.

Kamis, 14 Mei 2015

Eksekusi Hak Tanggungan



Layanan & Prosedur
  1. Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.”

  1. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan suatu perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang¬-undang No. 4 Tahun 1996).

  1. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

  1. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

  1. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 1996).

  1. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

  1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan;
    2. tidak memuat kuasa substitusi;
    3. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan  identitas debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan;

  1. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.

  1. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan Hak tanggungan.

  1. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan semua beban, kepada pembeli lelang.

  1. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.

  1. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-¬lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.

  1. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara.

  1. Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).


            Isi fakultatif dalam suatu akta Hak Tanggungan adalah Cara Pembayaran utang, Hak dan Kewajiban Kreditor dan Debitor, Penyelesaian Perselisihan, serta Penutup.

Minggu, 03 Mei 2015

Pembatasan Reservasi



          Suatu negara yang hendak menjadi negara pihak peserta dapat saja mengajukan suatu reservasi terhadap suatu ketentuan atau beberapa ketentuan tertentu yang terdapat dalam suatu perjanjian multilateral karena ketentuan-ketentuan itu tidak sesuai dengan kepentingan nasional dari negara yang mengajukan reservasi. Akan tetapi dalam membuat dan mengajukan reservasi, harus diketahui adanya pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak suatu negara untuk mengajukan reservasi ataupun pembatasan-pembatasan terhadap materi dari reservasi itu sendiri.
          Pembatasan-pembatasan tersebut dapat ditemukan atau dilihat dalam ketentuan pasal 19 dari Konvensi Wina 1969 mengenai Hukum Perjanjian. Ketentuan pasal 19 pada prinsipnya menyatakan bahwa setiap negara berhak mengajukan reservasi kecuali bahwa I) Perjanjian melarang negara-negara peserta melakukan reservasi atau terdapat  ketentuan dalam perjanjian atau konvensi itu sendiri yang melarang negara-negara peserta untuk mengajukan reservasi. Larangan tersebut dapat ditujukan baik terhadap keseluruhan materi ketentuan dalam konvensi ataupun hanya terbatas pada pasal-pasal tertentu saja yang terdapat dalam konvensi tersebut. Contoh-contoh yang dapat dikemukakan antara lain adalah pertama, Konvensi Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen (Geneva Convention on the Continental Shelf) tanggal 29 April 1958 yang di dalam pasal 12 dari Konvensi ini memuat larangan bagi negara-negara peserta untuk melakukan reservasi khusus terhadap pasal 1, 2 dan 3 dari Konvensi yang bersangkutan (Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, 1978, Hlm.242). Contoh kedua adalah Konvensi mengenai Kerugian yang disebabkan oleh Pesawat Udara Asing terhadap Pihak Ketiga di atas Permukaan Bumi (Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on Surface) tanggal 7 Oktober 1952, di mana pasal 39 dari Konvensi ini sama sekali tidak memperkenankan negara-negara peserta untuk melakukan reservasi.
Di samping perjanjian yang tidak memperkenankan untuk mengadakan reservasi, maka hukum kebiasaan internasional juga melarang atau tidak memperkenankan dilakukannya reservasi. Adanya larangan untuk melakukan reservasi berdasarkan kaidah hukum kebiasaan internasional antara lain adalah pertama, reservasi terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Piagam PBB (The UN Charter) terutama bagi negara-negara yang akan masuk menjadi anggota dari Organisasi PBB. Kedua, berdasarkan hukum kebiasaan internasional, maka negara-negara juga tidak diperkenankan untuk melakukan reservasi terhadap reservasi atas suatu ketentuan dalam perjanjian multilateral (reservation against reservation).
II) Ketentuan pasal 19 Konvensi Wina 1969 juga menyatakan bahwa setiap negara berhak untuk mengajukan reservasi kecuali kalau perjanjian menetapkan bahwa reservasi yang diperkenankan hanyalah reservasi yang bersifat khusus (specified reservation) yang tidak termasuk di dalam reservasi yang bermasalah (reservation in question). Istilah reservasi khusus (specified reservation) tidak dijelaskan pengertiannya sehingga menimbulkan persoalan. Menurut Boer Mauna, yang dimaksud dengan istilah reservasi khusus (specified reservation) adalah suatu reservasi yang materinya telah ditentukan secara khusus atau terperinci dalam perjanjian yang bersangkutan sehingga reservasi seperti itu diperkenankan untuk dilakukan atau tidak dilarang. Sedangkan reservasi yang memuat materi yang berada di luar materi-materi yang telah ditentukan secara terperinci dalam perjanjian yang bersangkutan, reservasi semacam ini dilarang dan tidak diperkenankan untuk melakukannya. Apabila ada negara yang melakukan reservasi atas suatu materi atau ketentuan yang tidak disebutkan secara terperinci dalam perjanjian untuk dilakukan reservasi, maka reservasi seperti ini yang dinamakan reservation in question sehingga reservasinya dianggap tidak sah.
III) Selanjutnya sesuai pasal 19 dari Konvensi Wina 1969 suatu negara juga dapat mengajukan reservasi terkecuali reservasi itu tidak sesuai dengan maksud dan tujuan daripada perjanjian (incompatible with the object and purpose of the treaty). Dengan mempergunakan penafsiran a contrario, dapat dikatakan bahwa apabila reservasi yang diajukan itu sesuai (compatible) dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu, maka hak untuk mengajukan reservasi tetap ada meskipun reservasi tidak diatur secara tegas dalam perjanjian yang bersangkutan ( I.M. Sinclair, Hlm. 43). Demikian pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh setiap negara yang berkeinginan menjadi peserta atau pihak pada perjanjian, tetapi disertai dengan suatu reservasi atas suatu ketentuan yang terdapat dalam perjanjian multilateral, sebagaimana diatur berdasarkan pasal 19 Konvensi Wina 1969.
          Dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan Konvensi Wina1969 mengenai pensyaratan atau reservasi maupun praktek negara-negara, termasuk praktek RI selama ini dalam hubungan dengan reservasi, maka Undang-Undang No.24 Tahun 2000 dalam pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintah RI dapat melakukan pensyaratan dan atau pernyataan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut. Penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa pensyaratan dan pernyataan dilakukan atas perjanjian internasional yang bersifat multilateral dan dapat dilakukan atas suatu bagian perjanjian internasional sepanjang pensyaratan dan pernyataan tersebut tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dibuatnya perjanjian tersebut. Pensyaratan hanya dapat dilakukan apabila tidak dilarang oleh perjanjian internasional tersebut. Dengan pensyaratan atau pernyataan terhadap suatu ketentuan perjanjian internasional, Pemerintah RI secara hukum tidak terikat pada ketentuan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasal 8 dari Undang-Undang No.24 Tahun 2000 melakukan penggabungan antara ketentuan hukum mengenai pensyaratan (reservation) dengan ketentuan mengenai penafsiran (interpretation), di mana yang disebut terakhir ini disebut dengan istilah pernyataan (declaration). Penggabungan atau penyatuan kedua ketentuan hukum ini adalah sesuatu yang wajar sebab kedua-duanya mempunyai tujuan untuk mengesampingkan berlakunya ketentuan pasal dalam perjanjian internasional yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepentingan dari negara yang mengajukan reservasi. Untuk mengesampingkan berlakunya ketentuan pasal yang terdapat dalam perjanjian yang bersangkutan, maka negara dalam hal ini RI dapat menerapkan pensyaratan (reservation) dan atau pernyataan (declaration).
          Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 8 ayat 2 disebutkan pensyaratan dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian internasional harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian tersebut. Apabila pensyaratan dan pernyataan dibuat dan dirumuskan pada saat penandatanganan perjanjian untuk kemudian ditegaskan dan dikukuhkan kembali pada saat pengesahan perjanjian, maka pengukuhan atau penegasan kembali tersebut harus dituangkan melalui instrument pengesahan seperti membuat piagam ratifikasi atau piagam aksesi. Pensyaratan dan pernyataan yang ditetapkan oleh Pemerintah RI dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang ditetapkan dalam perjanjian internasional. Demikian ketentuan normatif soal pensyaratan (reservation) terutama pembatasan-pembatasan yang harus mendapat perhatian ketika Pemerintah RI perlu mengajukan reservasi atas suatu perjanjian multilateral sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-Undang No.24 Tahun 2000. Bersamaan dengan itu ketentuan pasal 8 Undang-Undang tersebut mencerminkan pula secara tersirat adanya penerapan doktrin Pan Amerika karena Undang-Undang itu berpedoman pada Konvensi Wina 1969 terkait dengan masalah reservasi.