Membahas
mengenai pensyaratan atau reservasi tentu tak dapat dilepaskan dengan
perjanjian internasional yang bersifat multilateral karena ketentuan mengenai
reservasi adalah salah satu ketentuan spesifik yang hanya berlaku bagi
perjanjian multilateral. Relevansi dari masalah reservasi terkait dengan
perjanjian multilateral, sedangkan masalah ini tidak relevan untuk suatu
perjanjian bilateral sebab sekalipun tidak ada larangan bagi salah satu atau
kedua belah pihak untuk melakukan reservasi pada perjanjian bilateral, namun
hal seperti ini tidak lazim digunakan mengingat pada akhirnya hanya ada dua
kemungkinan yang bisa terjadi kalau reservasi digunakan. Perjanjian bilateral
baik yang sudah ada atau berlaku sebelumnya maupun yang belum ada menjadi batal
atau gugur dalam hal pihak lain tidak setuju dengan reservasi yang diajukan
salah satu pihak. Sebaliknya kalau reservasi itu diterima pihak lain, maka
perjanjian bilateral tersebut secara pasti mengalami perubahan atau dengan lain
perkataan kedua belah pihak mencapai kesepakatan dengan membuat perjanjian
bilateral baru sehingga dengan demikian reservasi tidak memiliki relevansi
dalam hubungan dengan perjanjian bilateral. Berbeda halnya dengan perjanjian
multilateral yang jumlah pesertanya banyak, mungkin puluhan bahkan mungkin saja
ratusan jumlahnya, di mana di dalamnya diatur berbagai macam kepentingan dari
negara-negara dalam hubungan dengan berbagai masalah. Dapat dikatakan adalah
sesuatu yang tidak mungkin atau hampir tidak mungkin suatu negara atau beberapa
negara akan selalu menyetujui seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam suatu
perjanjian multilateral sebab bagaimanapun kepentingan di antara berbagai
negara tidak selalu sama dalam masalah-masalah tertentu, kepentingan nasional
mereka sering berbeda dan bahkan bertentangan satu sama lain. Mereka tidak akan
setuju dengan pasal atau pasal tertentu dari perjanjian multilateral yang
bertentangan dengan kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu apabila seluruh
materi atau ketentuan pasal dari perjanjian tersebut diterima, maka sudah
barang tentu kepentingan nasional dari negara-negara peserta akan dirugikan.
Dari sisi lain pembentukan perjanjian
multilateral harus dapat mencapai tujuannya sebagaimana diharapkan, yaitu untuk
menghimpun sebanyak-banyaknya negara-negara untuk menjadi negara-negara peserta
atau negara-negara pihak pada perjanjian tersebut. Untuk mewujudkan tujuan
dibentuknya perjanjian multilateral dan sekaligus untuk mengakomodasi
kepentingan dari satu atau beberapa negara yang tidak menyetujui satu atau
beberapa pasal yang terdapat di dalam perjanjian internasional, maka dibuat
suatu terobosan dalam bentuk klausula atau ketentuan mengenai reservasi atau
pensyaratan di mana suatu negara dapat menjadi negara peserta atau negara pihak
dengan memberikan kesempatan atau hak untuk melakukan pensyaratan atas suatu
pasal yang terdapat dalam perjanjian yang dipandang tidak sesuai dengan
kepentingan dari negara yang bersangkutan.
Terdapat beberapa definisi mengenai
reservasi, antara lain definisi yang dikemukakan oleh Harvard Research, pasal
2d dari Konvensi Wina 1969 serta pasal 1e dari Undang-Undang No.24 Tahun 2000.
Menurut Harvard Research Institute, reservasi adalah suatu pernyataan formal
oleh suatu negara yang pada waktu menandatangani, meratifikasi dan menerima
perjanjian, menentukan secara terperinci suatu pensyaratan mengenai kehendaknya
untuk menjadi pihak peserta suatu perjanjian, batas-batas tertentu yang akan
membatasi akibat dari perjanjian sedemikian rupa, di mana hal itu dapat
diterapkan dalam hubungan antara negara tersebut dengan negara lain atau
negara-negara yang menjadi pihak peserta perjanjian.
Selanjutnya pasal 2d Konvensi Wina
1969 menyatakan bahwa reservasi adalah suatu pernyataan sepihak, apapun istilah
atau sebutan yang dapat diberikan, yang dilakukan oleh suatu negara pada waktu
menandatangani, meratifikasi. menerima, menyetujui atau menyatakan turut serta
pada suatu perjanjian yang bertujuan untuk meniadakan atau merubah akibat-akibat
hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu yang terdapat dalam perjanjian itu
dalam penerapannya terhadap negara tersebut. Kedua definisi mengenai reservasi
sebagaimana telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa pertama, reservasi harus
dinyatakan secara formal atau tertulis; kedua, reservasi diajukan dengan tujuan
untuk membatasi, meniadakan atau mengubah akibat hukum yang timbul dari
ketentuan perjanjian yang bersangkutan. Untuk maksud tersebut reservasi yang
diajukan oleh suatu negara dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut
(J.G.Starke, An Introduction to International Law, London, Butterworths,1984,
Hlm.440). 1) mensyaratkan agar satu atau beberapa ketentuan yang terdapat dalam
perjanjian dikecualikan ; 2) mengadakan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan
tersebut ataupun akibatnya; 3) menafsirkan ketentuan-ketentuan itu dengan cara
yang khusus. Dengan demikian reservasi yang diajukan oleh suatu negara adalah
merupakan penerimaan bersyarat dari negara yang mengajukan reservasi terhadap
materi perjanjian. Penerimaan bersyarat seperti itu pada hakekatnya merupakan
suatu perjanjian yang berbeda dengan perjanjian yanmg telah disepakati
sebelumnya karena materi dari perjanjian itu akan mengalami perubahan terutama
bagi negara yang mengajukan reservasi (the reserving state) sesuai dengan apa
yang dikemukakan dalam reservasinya apabila reservasi itu diterima oleh
konvensi.
Sesuai dengan pengertian reservasi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2d dari Konvensi Wina 1969. Maka Pasal 1e dan 1f dari Undang - Undang Perjanjian Internasional (UU No. 24 Tahun 2000) mengemukakan istilah pensyaratan (reservation) dan pernyataan (declaration) yang pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dalam menerima perjanjian secara bersyarat. Pensyaratan (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. sedangkan pengertian Pernyataan (declaration) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral guna memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk memengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional. Dengan demikian sesungguhnya pengertian pernyataan (declaration) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian pensyaratan (reservation) karena walaupun istilah yang dipakai berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang sama dimana suatu negara dalam menerima dan mengikatkan dirinya pada suatu perjanjian internasional melalui suatu cara tertentu bermaksud untuk mengesampingkan berlakunya ketentuan tertentu dan/atau memberikan penafsiran tersendiri terhadap ketentuan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar