Khilafah
merupakan puncak kekuasaan tertinggi pada kepemimpinan publik dalam Islam dan
pemangku jabatan tersebut digelari Khalifah yang berperan sebagai kepala
tertinggi Daulah Islamiyyah. Khalifah diamanahkan beberapa tugas-tugas dan
diberikan wewenang tertentu. Mengenai tugas dan wewenang Khalifah ini, telah
dibahas secara detail oleh Al-Mawardi dan beberapa pakar hukum politik Islam
lain dalam buku-buku mereka. Khilafah dalam terminologi lain dinamakan juga
“Al-Imamah Al-Kubra” (Kepemimpinan Tertinggi) dan pemangku jabatan digelari
Al-Imam, yang berperan sebagai pelindung Islam dari serangan dan invasi para
musuh dan para pelaku bid’ah serta berfungsi juga sebagai pihak yang memiliki
kewenangan menangani urusan-urusan perpolitikan dunia berlandaskan pada
aturan-aturan Islam.
Dalam pemahaman Beliau, Khilafah
Islamiyyah merupakan syiar dan lambang kebanggaan Islam yang mesti menjadi
bahan pemikiran dan perjuangan umat Islam supaya bisa dikembalikan lagi
kejayaannya seperti sediakala, namun perjuangan untuk menerapkan kembali sistem
pemerintahan seperti itu tentu memerlukan proses yang tidak singkat serta
persiapan yang sangat matang.
Kita dapat menyimpulkan dari
beberapa pandangan yang tertuang dalam tulisan-tulisan Imam Hasan Al-Banna
terkait dengan problematika Khilafah Islamiyyah sebagai berikut: “Bahwa
berdirinya Khilafah Islamiyyah mesti didahului oleh perjuangan memformulasikan
berdirinya pemerintahan-pemerintahan Islam di negeri-negeri Islam di mana
setiap anak bangsa berjuang supaya hukum syariat bisa tegak di negaranya.
Kemudian baru setelah itu, masing-masing pemerintahan Islam ini menyatukan visi
dan misi mereka guna mendirikan sebuah negara adidaya Islam tingkat dunia”.
Hal ini telah disinggung pula dalam
rukun bai’at yang membahas tingkatan-tingkatan proses perubahan dan perbaikan
yang dimulai dari individu sebagai satuan terkecil, lalu pembentukan keluarga
Muslim, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan bangsa Muslim dan pembebasan
negara dari penjajahan asing, kemudian proses perbaikan dunia pemerintahan
hingga menjadi pemerintahan yang benar-benar Islami. Baru setelah itu,
perjuangan perebutan kembali kepemimpinan dunia di bawah kekuasaan Islam dengan
jalan membebaskan semua bangsa-bangsa Islam dari segala tekanan dan penjajahan
asing, mengembalikan kejayaan Islam, mengakrabkan kultur budaya bangsa-bangsa
dan mengembalikan persatuan dan kesatuan umat yang akan berperan penuh dalam
kejayaan kembali Khilafah Islamiyyah yang telah lama hilang .
Dalam kongres V Ikhwanul Muslimin,
Imam Hasan Al-Banna menyampaikan ceramah dengan tema “Ikhwanul Muslimin dan
Khilafah Islamiyyah”, di antara intisari ceramahnya Beliau mengemukakan:
“Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin menyakini bahwa Khilafah Islamiyyah merupakan
simbol dari persatuan umat Islam dan visualisasi dari ikatan yang kokoh antar
negara-negara Islam sedangkan Khalifah merupakan figur tempat bergantung
penerapan hukum Islam”.
Sementara itu, banyaknya jumlah
hadits yang menerangkan kewajiban pengangkatan seorang Imam serta penjelasan
tentang hukum kepemimpinan tidak memberikan ruang kosong bagi umat Islam untuk
meragukan tugas mereka sebagai Muslim agar memikirkan persoalahan Khilafah
Islamiyyah yang telah banyak mengalami perubahan dan modifikasi dalam manhaj
Khilafah, hingga berakhir tragis dengan penghapusan sistem Khalifah Islamiyyah
secara total sampai sekarang.
Ikhwanul Muslimin meletakkan gagasan
Khilafah Islamiyyah dan perjuangan mengembalikan kejayaannya sebagai salah satu
target puncak manhaj yang dianut oleh jamaah ini. Bersamaan dengan itu, mereka
meyakini bahwa proses perjuangan ini tentu membutuhkan persiapan-persiapan yang
sangat matang serta setelah melewati tahapan-tahapan yang sangat panjang dan
melelahkan. Perjuangan ini mesti diawali dengan kerjasama erat dan hubungan
diplomasi antar negara-negara Islam dalam bidang pendidikan, kebudayaan, sosial
dan perekonomian, setelah itu diiringi dengan perjanjian-perjanjian kerjasama
dan penandatanganan MOU, penyelenggaraan kongres-kongres, muktamar-muktamar dan
seminar-seminar Internasional antar negara-negara Islam di dunia. Setelah itu
dilanjutkan dengan pembentukan liga bangsa-bangsa Islam tingkat dunia. Pasca
terwujudnya semacam persatuan atau liga bangsa-bangsa Islam sedunia tersebut,
baru-lah disana ditunjuk seorang Imam.
Pernyataan di atas semakin
dikokohkan dengan kesimpulan penulis dari risalah “Al-Ikhwan Al-Muslimun tahta
Raayat Al-Qur`an” ketika Imam Hasan Al-Banna mengungkapkan: Sesungguhnya kita
sangat mengharapkan kehadiran:
- Individu Muslim
- Rumah dan keluarga Islami
- Bangsa Islam
- Pemerintahan Islam
- Kepemimpinan Islam tingkat dunia yang mengatur dan mengurus negara-negara Islam, menghimpun umat Islam, berjuang mengembalikan kejayaan Islam, mengembalikan tanah-tanah kaum Muslim yang telah dirampas dan negara-negara mereka yang direbut secara paksa. Kemudian mengibarkan bendera jihad dan panji dakwah Islam sehingga dunia merasakan kebahagiaan dengan ajaran-ajaran Islam.
Penulis berpendapat sesungguhnya
Islam mewajibkan kaum Muslimin untuk bersatu di bawah satu naungan kepemimpinan
seorang Imam atau Kepala Negara Islam. Sedangkan kondisi terpecahnya umat Islam
ke berbagai negara dengan kepala negaranya masing-masing merupakan kondisi yang
tidak dibolehkan dalam Islam, karena bisa melahirkan bibit-bibit perpecahan
antar berbagai negara Islam. Sedangkan Allah Ta’ala melarang perpecahan yang
akan berakibat pada keggagalan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam
Qur’an Surah Al-Anfal ayat 46:
(وَلاَ
تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ) [الأنفال: 46]
Artinya:
Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Rasulullah SHALLALLAAHU
ALAIHI WA SALLAM bersabda:
إِذَا
بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخَرَ مِنْهُمَا
Artinya: jika terdapat dua orang
khalifah (yang satu sah dan yang lain tandingan) yang dibai’at (diangkat), maka
bunuhlah khalifah yang terakhir dibai’at (khalifah tandingan).
Hadits di atas menetapkan secara
tegas pengharaman pengangkatan lebih dari satu orang Imam yang akan memimpin
umat Islam dan dalam hadits itu terdapat pula penjelasan kewajiban umat Islam
untuk membunuh khalifah yang dibai’at terakhir, bila ia bersikukuh tidak mau
turun dari jabatan kekhalifahan sebagai upaya menjaga persatuan umat Islam dan
memerangi perpecahan dan perselisihan yang akan mengakibatkan umat Islam
menjadi terbelah.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim
dengan sanadnya sampai ke Abu Hurairah dari Nabi SHALLALLAAHU ALAIHI WA SALLAM.
Beliau bersabda:
كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ
خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ
فَتَكْثُرُ قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فوا بِبَيْعَةٍ الأَوَّل
فَاْلأَوَّل، وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ
Artinya: dahulu kala Bani Israil
dipimpin oleh para Nabi, setiap Nabi wafat, maka digantikan oleh Nabi
sesudahnya. Dan sesungguhya tiada Nabi sesudahku (Muhammad), tetapi yang akan
ada ialah para khalifah dan mereka banyak melakukan kesalahan. Para sahabat
bertanya: “Apa yang Anda perintahkan kepada kami?”. Beliau menjawab:
“Lakukanlah bai’at terhadap khalifah yang pertama, kemudian berikutnya (yakni
khalifah yang diangkat pertama kali, bukan khalifah yang meraih kedudukan
melalui kudeta, makar dan sebagainya) dan berikanlah kepada mereka hak-hak
mereka.
Fakta
sejarah -masa lalu maupun sekarang- mengungkap bahwa umat Islam telah melewati
masa-masa suram yang melebihi kondisi perpecahan yang pernah menimpa dunia
Islam ketika terbagi menjadi beberapa negara, begitupula hubungan diplomasi
yang kurang harmonis, perasaan dengki, iri, pertikaian dan perpecahan antara
Daulah Umaiyyah di Andalusia dengan daulah ‘Abbasiyyah di Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar