Selasa, 31 Maret 2015

Latar Belakang Konsep Negara dan Eksistensi Khilafah Islamiyah



       Dalam perspektif Al-Qur’an, negara sebagai institusi kekuasaan diperlukan Islam sebagai instrumen yang efektif untuk merealisasikan ajarannya dalam konteks sejarah. Islam merupakan risalah yang paripurna dan universal. Islam mengatur seluruh masalah kehidupan, serta hubungan antara kehidupan itu dengan sebelum dan sesudah kehidupan. Ia juga memecahkan seluruh masalah manusia, sebagai manusia. Islam juga mengatur interaksi manusia dengan penciptanya, dirinya sendiri, serta sesama manusia di setiap waktu dan tempat. Islam telah membawa corak pemikiran yang khas yang dapat melahirkan sebuah peradaban yang berbeda dengan peradaban mana pun, yang mana melahirkan kumpulan konsepsi kehidupan, membuat perasaan para penganutnya mendarah daging dengan corak peradabannya. Pemikiran-pemikiran yang di bawa Islam juga mampu melahirkan pandangan hidup tertentu, yaitu pandangan halal dan haram, sebuah metode yang unik dalam kehidupan, serta mampu membangun sebuah masyarakat yang pemikiran, perasaan, sistem dan individu-individunya berbeda dengan masyarakat manapun. Al-Qur’an pada dasarnya adalah kitab yang memuat pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, dan perintah moral bagi kepentingan hidup manusia di muka bumi. Petunjuk dan perintah ini bercorak universal, abadi, dan fungsional, sebagai intisari wahyu terakhir. Al-Qur’an bukanlah sebuah wacana hukum atau kitab politik.
            Oleh sebab itu, kitab suci ini tidak pernah berbicara secara gamblang dan rinci tentang bentuk-bentuk masyarakat sipil atau masyarakat non sipil, dan bentuk negara yang harus diciptakan umat sepanjang sejarah. Sekalipun demikian, Al-Qur’an mengisyaratkan dasar-dasar fundamental tentang bangunan masyarakat dan negara yang wajib dijadikan awan bagi penciptaan sebuah potity ( masyarakat dan negara yang teratur ) bagi umat.
            Menurut Al-Farabi (dalam Ahmad, 1964 : 30), mengatakan bahwa negara adalah :

            “ satu tubuh yang hidup, sebagai halnya tubuh manusia; tubuh manusia yang menyusun satu kesatuan “.

            Penerapan hukum-hukum Islam oleh negara-negara di dalam negeri, ketika Negara menerapkan hukum-hukum Islam di dalam wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya, mengatur muamalah, menegakkan hudud, menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin pelaksanaan syiar-syiar ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Semua ini dilaksanakan dengan tata cara yang jelas oleh Islam. Pada waktu Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Rasul, kondisi masyarakat Mekah berikut keyakinannya, nilai-nilainya, perasaan, serta hukum-hukum yang dianut di tengah-tengah masyarakat sama sekali tidak Islami. Dengan latar belakang seperti ini, tahap pembinaan dimanfaatkan Rasulullah saw untuk membangun akidah Islam dalam diri para pengikutnya serta memperkokoh keimanan mereka kepada Allah SWT. Tahap ini digunakan untuk mengganti nilai-nilai jahiliyah dengan konsep tauhid, yakni keesaan Allah SWT. Rasulullah SAW mengumpulkan para pengikutnya di Dar al-Arqam dan membentuk kepribadian mereka sesuai petunjuk Al-Qur’an.
            Hijrahnya Rasullah dari Mekah ke Madinah, pada tahun ke-23 kenabian atau 622 Masehi membuka era baru bagi Nabi Muhammad dalam rangka menyebarkan Islam sebagai agama. Tujuan utama dari hijrah dari Mekah ke Madinah adalah untuk mendirikan masyarakat muslim di bawah naungan negara Islam (Yusuf Qardawy, 1999). Nama Madinah, yang digunakan untuk menggantikan Yatsrib tidak sekedar berarti “kota”. Nama itu memiliki pengertian yang lebih luas lagi, yaitu kawasan tempat menetap dan bermasyarakat mereka yang memiliki tamaddun peradaban dan budaya, yang mencakup daulah (negara) dan hukumah (pemerintahan) (Mohammad Shoelhi, 2003). Di belakang kata Madinah, ditambahkan kata Munawwarah atau Madinah Al Munawwarah. Artinya, negara dan pemerintahan yang diberi cahaya wahyu.
            Setelah Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, ajaran Islam dilengkapi dengan perincian hukum-hukum ibadah, demikian pula aturan-aturan yang menyangkut tata kehidupan bermasyarakat. Kemudian pada periode Madinah inilah dimulai pembentukan masyarakat. Hubungan antara umat Islam dan bukan umat Islam mulai diatur yang mana sikap kaum kafir Quraisy terhadap umat Islam perlu pelayanan yang dicerminkan dalam aturan-aturan hukum antarnegara. Perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masyarakat mengenai berbagai macam hal diselesaikan melalui pengadilan. Ringkasnya, syari’at Islam yang diturunkan dalam periode Madinah ini telah memerlukan adanya lembaga yang mengelolanya (Ahmad Azhar Basyir, 1984).
            Lembaga yang diperlukan itu tidak lain ialah sebuah negara. Tanpa adanya sebuah negara, eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta system kehidupan akan menjadi pudar, yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata (Abdul Qadim Zallum, 2002). Karena itulah, negara Islam harus senantiasa ada dan keberadaannya juga tidak boleh hanya sementara saja.
            Demikianlah untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam lahir negara di bawah pimpinan Nabi Muhammad saw sendiri. Dalam periode Madinah inilah ayat-ayat Al-Qur’an tentang tata hidup kemasyarakatan berangsur-angsur diwahyukan selama hampir kurang lebih sepuluh tahun kepada Nabi Muhammad saw. Diantara ayat-ayat yang diturunkan pada periode Madinah ini yang merupakan pedoman bagi hidup bernegara adalah antara lain Al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4) ; 59 yang berbunyi:
            “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika diantara kamu berlainan pendapat tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)”.
            Disebutkan diayat di atas dengan adanya ulil amri tersebut memberikan isyarat kepada kita bahwa adanya ulil amri untuk dapat terselenggaranya kehidupan kemasyarakatan umat Islam itu memang diperlukan dan jika telah terjadi, rakyat wajib mentaatinya. Dari segi lainnya, diletakkannya perintah taat kepada ulil amri setelah perintah taat kepada Allah dan Rasulnya itu mengandung
ajaran pula bahwa kewajiban taat kepada ulil amri itu dikaitkan kepada adanya syarat bahwa ulil amri dalam melaksanakan pimpinannya harus berpedoman teguh pada ajaran-ajaran Allah dalam Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Rasul-Nya dalam sunnah.
            Demikianlah untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam lahir negara dibawah pimpinan Nabi Muhammad saw sendiri. Dalam periode Madinah inilah ayat-ayat Al-Qur’an tentang tata kehidupan kemasyarakatan berangsur-angsur diwahyukan selama sepuluh tahun kepada Nabi Muhammad saw. Diantara ayat yang turun dalam periode ini merupakan pedoman hidup bernegara adalah Al-Qur’an Surah An-Nisa’ (4): 59 yang mengajarkan :
            Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikalah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu).”

Al-Maududi menegaskan bahwa (Mohd.Azizuddin Mohd .Sani, 2002 : 59 :
            “ Negara dan pemerintahan Islam bukanlah boleh lahir secara mukjizat dengan tiba-tiba sempurnanya (meskipun Allah SWT bisa melakukannya), ia mestilah melalui suatu usaha yang besar dan menyeluruh termasuklah proses pentarbiyahan serta pembentukan fikiran rakyat umum”.
            Sejalan dengan ketentuan bahwa asas negara menurut ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tujuan negara menurut ajaran Islam adalah terlaksananya ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Sunah Rasul dalam kehidupan masyarakat, menuju kepada tercapainya kesejateraan hidup di dunia, material dan spritual, perseorangan dari kelompok serta mengantarkan kepada tercapainya kebahagian hidup di akhirat kelak.
            Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menjawab mengenai akan bangkitnya al-Islam melalui tegaknya Khilafah Islam. Salah satunya adalah seperti diisyaratkan Allah SWT dalam Al-Qur’an surat an-Nur ayat 55 :
            Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang mengerjakan amalan-amalan shaleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan berkuasanya orang-orang sebelum mereka. Sungguh, Dia pasti meneguhkan bagi mereka dien yang diridhai-Nya dan Dia benar-benar akan mengembalikan keadaan mereka setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa; (dengan syarat) mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan–Ku dengan sesuatu apapun. Siapa saja kafir setelah janji itu, mereka-lah orang-orang fasiq. “
            Kemudian Rasullah SAW bersabda dalam hadist Imam Ahmad yang diriwayatkan dari al-Bazar, yang mafhumnya :
ü  “ telah datang masa kenabian, atas kehendak Allah, kemudian berakhir.
ü  Setelah itu, akan datang Khilafah rasyidah sesuai garis kenabian, atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir.
ü  Lalu, akan datang masa kekuasaan Islam yang didalamnya terdapat banyak ke-zhalim-an, atas kehendak Allah, kemudian berakhir pula.
ü  Lantas, akan datang jamannya para diktator, atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir pula.
ü  Dan terakhir, akan datang kembali masa khilafah rasyidah yang selaras dengan garis kenabian, sehingga Islam akan meliputi seluruh permukaan bumi.

            Fenomena berkembangnya fundamentalisme Islam dalam hal perjuangan menerapkan Islam secara Kaffah (dalam segala Aspek kehidupan) nampaknya akan terus menguat. Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, hal ini sudah menjadi hal yang lazim di berbagai negara di dunia Islam. Bila kita amati berkembangnya keinginan untuk menegakkan Islam secara Kaffah bukanlah dikarenakan oleh peningkatan pemahaman terhadap nilai-nilai agama, melainkan lebih karena bentuk kekecewaan terhadap sistem yang sudah ada dimana dianggap gagal memberikan kesejahteraan, keadilan. Maka dari itu pada dasarnya fundamentalisme Islam tidak perlu disikapi dengan apriori ataupun phobi, sebab sebenarnya mereka berusaha menawarkan sebuah solusi yang menurut mereka dapat menjawab kegagalan sistem yang ada sekarang[1].
            Indonesia sebagai populasi muslim terbesar di dunia juga dapat dikatakan sebagai salah satu simbol kekuatan Islam yang ada saat itu. Walaupun dalam konstitusi Negara Indonesia tidak disebutkan bahwa Indonesia adalah Negara muslim, namun pada kenyataannya Islam cukup mengambil peranan penting dalam kehidupan sosial politik di Negara ini. Sejak sebelum lahirnya Indonesia (masih dengan nama Nusantara) Islam telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat nusantara terutama sejak berkuasanya kerajaan Islam. Bahkan seiring dengan perkembangannya pada masa colonial Islam tetap memiliki eksistensi tersendiri dalam hal perjuangan melawan penjajah. Berbagai bentuk perjuangan yang dilakukan oleh lascar-laskar Islam dalam melawan penjajahan menunjukkan Islam telah memiliki eksistensi yang cukup kuat jauh sebelum muncul ide tentang Indonesia.
            Perjuangan umat Islam di nusantara nampaknya tidak hanya sampai melawan penjajahan dan memperoleh kemerdekaan, tapi berlanjut kepada perjuangan menegakkan Islam sebagai aturan hidup bernegara. Hal ini dapat kita lihat dari awal mula pembentukan konstitusi di awal kemerdekaan Indonesia dimana pada Piagam Jakarta termaktub gagasan tentang pelaksanaan syariat Islam bagi para pemeluknya. Kelompok-kelompok Islam fundamental pada saat itu memperjuangkan syariat tidak hanya sebagai suatu bentuk eksistensi namun juga sebagai jalan hidup yang memang diyakini sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim. Tentunya hal ini akan kembali menimbulkan pertentangan dengan golongan lainnya (nasionalis dan agama lainnya). Bila kita melihat dari sudut pandang sejarah memang kita akan jumpai bahwa umat Islam di Indonesia sejak dulu telah memperlihatkan sebuah bentuk eksistensi yang kemudian mengarah pada penerapan hukum Islam bahkan bentuk negara Islam sebagai sebuah kewajiban menjalankan perintah agama. Dengan kata lain dikatakan bahwa isu negara pembentukan negara Islam ataupun penegakan Syariat Islam bukanlah hal yang baru dalam rangkaian perjalanan panjang bangsa ini. Begitu pula dengan hambatan yang dihadapinya, selalu saj mendapat pertentangan dari kelompok lainnya. Walaupun akhirnya tetap saja bentuk negara Indonesia hingga sekarang masih tetap bentuk negara Republik Indonesia dan bukanlah negara Islam ataupun negara Agama.
            Dalam perjalanan bangsa ini (dalam konteks Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan) walaupun prinsip – prinsip keIslaman tidak berhasil menjadi konstitusi negara ini, namun tidak bisa dipungkiri bahwa dalam prakteknya Islam tetap berpengaruh besar di negara ini, hal ini tentunya dikarenakan Indonesia adalah negara mayoritas muslim dan banyak pemikir-pemikir Islam yang turut andil dalam percaturan politik nasional, walaupun tidak berada dalam sebuah sistem politik Islam namun tetap saja simbol-simbol keIslam dinilai penting sebagai suatu bentuk Eksisitensi dalam kancah politik Indonesia.
            Islam sebagai sebuah peradaban memang pernah berjaya dimasa silam dan semasa berjayanya pemerintahan Islam memang belum pernah di temukan adanya bentuk negara seperti yang ada sekarang (bentuk negara nasional). Kekuasaan Islam pernah berjaya secara Global dalam bentuk yang unik dan berciri sendiri. Maka dalam perkembangannya sekarang tidak heran bila kita jumpai kelompok kelompok Islam fundamentalis anti-demokrasi dan menganggap tidak perlu meniru sistem yang berasal dari Barat karena meyakini bahwa dalam Islam telah ada bentuk pemerintahan sendiri.


[1] Afdlal dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta : LIPI Press, 2005. Hlm. 292

Tidak ada komentar:

Posting Komentar