Dalam perspektif Al-Qur’an, negara
sebagai institusi kekuasaan diperlukan Islam sebagai instrumen yang efektif
untuk merealisasikan ajarannya dalam konteks sejarah. Islam merupakan risalah
yang paripurna dan universal. Islam mengatur seluruh masalah kehidupan, serta
hubungan antara kehidupan itu dengan sebelum dan sesudah kehidupan. Ia juga
memecahkan seluruh masalah manusia, sebagai manusia. Islam juga mengatur
interaksi manusia dengan penciptanya, dirinya sendiri, serta sesama manusia di
setiap waktu dan tempat. Islam telah membawa corak pemikiran yang khas yang
dapat melahirkan sebuah peradaban yang berbeda dengan peradaban mana pun, yang
mana melahirkan kumpulan konsepsi kehidupan, membuat perasaan para penganutnya
mendarah daging dengan corak peradabannya. Pemikiran-pemikiran yang di bawa
Islam juga mampu melahirkan pandangan hidup tertentu, yaitu pandangan halal dan
haram, sebuah metode yang unik dalam kehidupan, serta mampu membangun sebuah masyarakat
yang pemikiran, perasaan, sistem dan individu-individunya berbeda dengan
masyarakat manapun. Al-Qur’an pada dasarnya adalah kitab yang memuat
pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, dan perintah moral bagi kepentingan hidup
manusia di muka bumi. Petunjuk dan perintah ini bercorak universal, abadi, dan
fungsional, sebagai intisari wahyu terakhir. Al-Qur’an bukanlah sebuah wacana
hukum atau kitab politik.
Oleh
sebab itu, kitab suci ini tidak pernah berbicara secara gamblang dan rinci
tentang bentuk-bentuk masyarakat sipil atau masyarakat non sipil, dan bentuk
negara yang harus diciptakan umat sepanjang sejarah. Sekalipun demikian,
Al-Qur’an mengisyaratkan dasar-dasar fundamental tentang bangunan masyarakat
dan negara yang wajib dijadikan awan bagi penciptaan sebuah potity (
masyarakat dan negara yang teratur ) bagi umat.
Menurut
Al-Farabi (dalam Ahmad, 1964 : 30), mengatakan bahwa negara adalah :
“
satu tubuh yang hidup, sebagai halnya tubuh manusia; tubuh manusia yang
menyusun satu kesatuan “.
Penerapan
hukum-hukum Islam oleh negara-negara di dalam negeri, ketika Negara menerapkan
hukum-hukum Islam di dalam wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya, mengatur
muamalah, menegakkan hudud, menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin
pelaksanaan syiar-syiar ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai
dengan hukum-hukum Islam. Semua ini dilaksanakan dengan tata cara yang jelas
oleh Islam. Pada waktu Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Rasul, kondisi
masyarakat Mekah berikut keyakinannya, nilai-nilainya, perasaan, serta
hukum-hukum yang dianut di tengah-tengah masyarakat sama sekali tidak Islami.
Dengan latar belakang seperti ini, tahap pembinaan dimanfaatkan Rasulullah saw
untuk membangun akidah Islam dalam diri para pengikutnya serta memperkokoh
keimanan mereka kepada Allah SWT. Tahap ini digunakan untuk mengganti nilai-nilai
jahiliyah dengan konsep tauhid, yakni keesaan Allah SWT. Rasulullah SAW mengumpulkan
para pengikutnya di Dar al-Arqam dan membentuk kepribadian mereka sesuai petunjuk
Al-Qur’an.
Hijrahnya
Rasullah dari Mekah ke Madinah, pada tahun ke-23 kenabian atau 622 Masehi membuka
era baru bagi Nabi Muhammad dalam rangka menyebarkan Islam sebagai agama. Tujuan
utama dari hijrah dari Mekah ke Madinah adalah untuk mendirikan masyarakat
muslim di bawah naungan negara Islam (Yusuf Qardawy, 1999). Nama Madinah, yang
digunakan untuk menggantikan Yatsrib tidak sekedar berarti “kota”. Nama itu
memiliki pengertian yang lebih luas lagi, yaitu kawasan tempat menetap dan
bermasyarakat mereka yang memiliki tamaddun peradaban dan budaya, yang
mencakup daulah (negara) dan hukumah (pemerintahan) (Mohammad
Shoelhi, 2003). Di belakang kata Madinah, ditambahkan kata Munawwarah atau Madinah
Al Munawwarah. Artinya, negara dan pemerintahan yang diberi cahaya wahyu.
Setelah
Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, ajaran Islam dilengkapi dengan perincian hukum-hukum
ibadah, demikian pula aturan-aturan yang menyangkut tata kehidupan bermasyarakat.
Kemudian pada periode Madinah inilah dimulai pembentukan masyarakat. Hubungan
antara umat Islam dan bukan umat Islam mulai diatur yang mana sikap kaum kafir Quraisy
terhadap umat Islam perlu pelayanan yang dicerminkan dalam aturan-aturan hukum antarnegara.
Perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam masyarakat mengenai berbagai macam
hal diselesaikan melalui pengadilan. Ringkasnya, syari’at Islam yang diturunkan
dalam periode Madinah ini telah memerlukan adanya lembaga yang mengelolanya
(Ahmad Azhar Basyir, 1984).
Lembaga
yang diperlukan itu tidak lain ialah sebuah negara. Tanpa adanya sebuah negara,
eksistensi Islam sebagai sebuah ideologi serta system kehidupan akan menjadi
pudar, yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak
semata (Abdul Qadim Zallum, 2002). Karena itulah, negara Islam harus senantiasa
ada dan keberadaannya juga tidak boleh hanya sementara saja.
Demikianlah
untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam lahir negara di bawah pimpinan Nabi
Muhammad saw sendiri. Dalam periode Madinah inilah ayat-ayat Al-Qur’an tentang
tata hidup kemasyarakatan berangsur-angsur diwahyukan selama hampir kurang
lebih sepuluh tahun kepada Nabi Muhammad saw. Diantara ayat-ayat yang
diturunkan pada periode Madinah ini yang merupakan pedoman bagi hidup bernegara
adalah antara lain Al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4) ; 59 yang berbunyi:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika diantara kamu berlainan pendapat tentang sesuatu
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)”.
Disebutkan
diayat di atas dengan adanya ulil amri tersebut memberikan isyarat kepada kita bahwa
adanya ulil amri untuk dapat terselenggaranya kehidupan kemasyarakatan umat
Islam itu memang diperlukan dan jika telah terjadi, rakyat wajib mentaatinya.
Dari segi lainnya, diletakkannya perintah taat kepada ulil amri setelah
perintah taat kepada Allah dan Rasulnya itu mengandung
ajaran pula bahwa kewajiban taat
kepada ulil amri itu dikaitkan kepada adanya syarat bahwa ulil amri dalam
melaksanakan pimpinannya harus berpedoman teguh pada ajaran-ajaran Allah dalam
Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Rasul-Nya dalam sunnah.
Demikianlah
untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam lahir negara dibawah pimpinan Nabi
Muhammad saw sendiri. Dalam periode Madinah inilah ayat-ayat Al-Qur’an tentang
tata kehidupan kemasyarakatan berangsur-angsur diwahyukan selama sepuluh tahun
kepada Nabi Muhammad saw. Diantara ayat yang turun dalam periode ini merupakan
pedoman hidup bernegara adalah Al-Qur’an Surah An-Nisa’ (4): 59 yang
mengajarkan :
“
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil
amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
kembalikalah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu).”
Al-Maududi menegaskan bahwa
(Mohd.Azizuddin Mohd .Sani, 2002 : 59 :
“
Negara dan pemerintahan Islam bukanlah boleh lahir secara mukjizat dengan
tiba-tiba sempurnanya (meskipun Allah SWT bisa melakukannya), ia mestilah
melalui suatu usaha yang besar dan menyeluruh termasuklah proses pentarbiyahan
serta pembentukan fikiran rakyat umum”.
Sejalan
dengan ketentuan bahwa asas negara menurut ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul, tujuan negara menurut ajaran Islam adalah terlaksananya ajaran-ajaran
Al-Qur’an dan Sunah Rasul dalam kehidupan masyarakat, menuju kepada tercapainya
kesejateraan hidup di dunia, material dan spritual, perseorangan dari kelompok
serta mengantarkan kepada tercapainya kebahagian hidup di akhirat kelak.
Al-Qur’an
dan As-Sunnah telah menjawab mengenai akan bangkitnya al-Islam melalui tegaknya
Khilafah Islam. Salah satunya adalah seperti diisyaratkan Allah SWT dalam
Al-Qur’an surat an-Nur ayat 55 :
“
Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang
yang mengerjakan amalan-amalan shaleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan berkuasanya
orang-orang sebelum mereka. Sungguh, Dia pasti meneguhkan bagi mereka dien yang
diridhai-Nya dan Dia benar-benar akan mengembalikan keadaan mereka setelah
mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa; (dengan syarat) mereka tetap
menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan–Ku dengan sesuatu apapun. Siapa saja
kafir setelah janji itu, mereka-lah orang-orang fasiq. “
Kemudian
Rasullah SAW bersabda dalam hadist Imam Ahmad yang diriwayatkan dari al-Bazar, yang mafhumnya :
ü “ telah datang masa kenabian, atas kehendak Allah, kemudian
berakhir.
ü Setelah itu, akan datang Khilafah rasyidah sesuai garis
kenabian, atas kehendak Allah, kemudian akan berakhir.
ü Lalu, akan datang masa kekuasaan Islam yang didalamnya terdapat
banyak ke-zhalim-an, atas kehendak Allah, kemudian berakhir pula.
ü Lantas, akan datang jamannya para diktator, atas kehendak Allah,
kemudian akan berakhir pula.
ü Dan terakhir, akan datang kembali masa khilafah rasyidah yang
selaras dengan garis kenabian, sehingga Islam akan meliputi seluruh permukaan
bumi.
Fenomena
berkembangnya fundamentalisme Islam dalam hal perjuangan menerapkan Islam
secara Kaffah (dalam segala Aspek kehidupan) nampaknya akan terus
menguat. Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, hal ini
sudah menjadi hal yang lazim di berbagai negara di dunia Islam. Bila kita amati
berkembangnya keinginan untuk menegakkan Islam secara Kaffah bukanlah
dikarenakan oleh peningkatan pemahaman terhadap nilai-nilai agama, melainkan
lebih karena bentuk kekecewaan terhadap sistem yang sudah ada dimana dianggap
gagal memberikan kesejahteraan, keadilan. Maka dari itu pada dasarnya
fundamentalisme Islam tidak perlu disikapi dengan apriori ataupun phobi, sebab
sebenarnya mereka berusaha menawarkan sebuah solusi yang menurut mereka dapat
menjawab kegagalan sistem yang ada sekarang[1].
Indonesia
sebagai populasi muslim terbesar di dunia juga dapat dikatakan sebagai salah
satu simbol kekuatan Islam yang ada saat itu. Walaupun dalam konstitusi Negara
Indonesia tidak disebutkan bahwa Indonesia adalah Negara muslim, namun pada
kenyataannya Islam cukup mengambil peranan penting dalam kehidupan sosial
politik di Negara ini. Sejak sebelum lahirnya Indonesia (masih dengan nama
Nusantara) Islam telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat nusantara terutama
sejak berkuasanya kerajaan Islam. Bahkan seiring dengan perkembangannya pada
masa colonial Islam tetap memiliki eksistensi tersendiri dalam hal perjuangan
melawan penjajah. Berbagai bentuk perjuangan yang dilakukan oleh lascar-laskar
Islam dalam melawan penjajahan menunjukkan Islam telah memiliki eksistensi yang
cukup kuat jauh sebelum muncul ide tentang Indonesia.
Perjuangan
umat Islam di nusantara nampaknya tidak hanya sampai melawan penjajahan dan
memperoleh kemerdekaan, tapi berlanjut kepada perjuangan menegakkan Islam
sebagai aturan hidup bernegara. Hal ini dapat kita lihat dari awal mula
pembentukan konstitusi di awal kemerdekaan Indonesia dimana pada Piagam
Jakarta termaktub gagasan tentang pelaksanaan syariat Islam bagi para
pemeluknya. Kelompok-kelompok Islam fundamental pada saat itu memperjuangkan
syariat tidak hanya sebagai suatu bentuk eksistensi namun juga sebagai jalan
hidup yang memang diyakini sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim.
Tentunya hal ini akan kembali menimbulkan pertentangan dengan golongan lainnya
(nasionalis dan agama lainnya). Bila kita melihat dari sudut pandang sejarah
memang kita akan jumpai bahwa umat Islam di Indonesia sejak dulu telah
memperlihatkan sebuah bentuk eksistensi yang kemudian mengarah pada penerapan
hukum Islam bahkan bentuk negara Islam sebagai sebuah kewajiban menjalankan
perintah agama. Dengan kata lain dikatakan bahwa isu negara pembentukan negara
Islam ataupun penegakan Syariat Islam bukanlah hal yang baru dalam rangkaian
perjalanan panjang bangsa ini. Begitu pula dengan hambatan yang dihadapinya,
selalu saj mendapat pertentangan dari kelompok lainnya. Walaupun akhirnya tetap
saja bentuk negara Indonesia hingga sekarang masih tetap bentuk negara Republik
Indonesia dan bukanlah negara Islam ataupun negara Agama.
Dalam perjalanan bangsa ini (dalam
konteks Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan) walaupun prinsip – prinsip
keIslaman tidak berhasil menjadi konstitusi negara ini, namun tidak bisa
dipungkiri bahwa dalam prakteknya Islam tetap berpengaruh besar di negara ini,
hal ini tentunya dikarenakan Indonesia adalah negara mayoritas muslim dan
banyak pemikir-pemikir Islam yang turut andil dalam percaturan politik
nasional, walaupun tidak berada dalam sebuah sistem politik Islam namun tetap
saja simbol-simbol keIslam dinilai penting sebagai suatu bentuk Eksisitensi
dalam kancah politik Indonesia.
Islam sebagai sebuah peradaban
memang pernah berjaya dimasa silam dan semasa berjayanya pemerintahan Islam
memang belum pernah di temukan adanya bentuk negara seperti yang ada sekarang
(bentuk negara nasional). Kekuasaan Islam pernah berjaya secara Global dalam
bentuk yang unik dan berciri sendiri. Maka dalam perkembangannya sekarang tidak
heran bila kita jumpai kelompok kelompok Islam fundamentalis anti-demokrasi dan
menganggap tidak perlu meniru sistem yang berasal dari Barat karena meyakini
bahwa dalam Islam telah ada bentuk pemerintahan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar