Minggu, 03 Mei 2015

Pembatasan Reservasi



          Suatu negara yang hendak menjadi negara pihak peserta dapat saja mengajukan suatu reservasi terhadap suatu ketentuan atau beberapa ketentuan tertentu yang terdapat dalam suatu perjanjian multilateral karena ketentuan-ketentuan itu tidak sesuai dengan kepentingan nasional dari negara yang mengajukan reservasi. Akan tetapi dalam membuat dan mengajukan reservasi, harus diketahui adanya pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak suatu negara untuk mengajukan reservasi ataupun pembatasan-pembatasan terhadap materi dari reservasi itu sendiri.
          Pembatasan-pembatasan tersebut dapat ditemukan atau dilihat dalam ketentuan pasal 19 dari Konvensi Wina 1969 mengenai Hukum Perjanjian. Ketentuan pasal 19 pada prinsipnya menyatakan bahwa setiap negara berhak mengajukan reservasi kecuali bahwa I) Perjanjian melarang negara-negara peserta melakukan reservasi atau terdapat  ketentuan dalam perjanjian atau konvensi itu sendiri yang melarang negara-negara peserta untuk mengajukan reservasi. Larangan tersebut dapat ditujukan baik terhadap keseluruhan materi ketentuan dalam konvensi ataupun hanya terbatas pada pasal-pasal tertentu saja yang terdapat dalam konvensi tersebut. Contoh-contoh yang dapat dikemukakan antara lain adalah pertama, Konvensi Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen (Geneva Convention on the Continental Shelf) tanggal 29 April 1958 yang di dalam pasal 12 dari Konvensi ini memuat larangan bagi negara-negara peserta untuk melakukan reservasi khusus terhadap pasal 1, 2 dan 3 dari Konvensi yang bersangkutan (Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Penerbit Binacipta, 1978, Hlm.242). Contoh kedua adalah Konvensi mengenai Kerugian yang disebabkan oleh Pesawat Udara Asing terhadap Pihak Ketiga di atas Permukaan Bumi (Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on Surface) tanggal 7 Oktober 1952, di mana pasal 39 dari Konvensi ini sama sekali tidak memperkenankan negara-negara peserta untuk melakukan reservasi.
Di samping perjanjian yang tidak memperkenankan untuk mengadakan reservasi, maka hukum kebiasaan internasional juga melarang atau tidak memperkenankan dilakukannya reservasi. Adanya larangan untuk melakukan reservasi berdasarkan kaidah hukum kebiasaan internasional antara lain adalah pertama, reservasi terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Piagam PBB (The UN Charter) terutama bagi negara-negara yang akan masuk menjadi anggota dari Organisasi PBB. Kedua, berdasarkan hukum kebiasaan internasional, maka negara-negara juga tidak diperkenankan untuk melakukan reservasi terhadap reservasi atas suatu ketentuan dalam perjanjian multilateral (reservation against reservation).
II) Ketentuan pasal 19 Konvensi Wina 1969 juga menyatakan bahwa setiap negara berhak untuk mengajukan reservasi kecuali kalau perjanjian menetapkan bahwa reservasi yang diperkenankan hanyalah reservasi yang bersifat khusus (specified reservation) yang tidak termasuk di dalam reservasi yang bermasalah (reservation in question). Istilah reservasi khusus (specified reservation) tidak dijelaskan pengertiannya sehingga menimbulkan persoalan. Menurut Boer Mauna, yang dimaksud dengan istilah reservasi khusus (specified reservation) adalah suatu reservasi yang materinya telah ditentukan secara khusus atau terperinci dalam perjanjian yang bersangkutan sehingga reservasi seperti itu diperkenankan untuk dilakukan atau tidak dilarang. Sedangkan reservasi yang memuat materi yang berada di luar materi-materi yang telah ditentukan secara terperinci dalam perjanjian yang bersangkutan, reservasi semacam ini dilarang dan tidak diperkenankan untuk melakukannya. Apabila ada negara yang melakukan reservasi atas suatu materi atau ketentuan yang tidak disebutkan secara terperinci dalam perjanjian untuk dilakukan reservasi, maka reservasi seperti ini yang dinamakan reservation in question sehingga reservasinya dianggap tidak sah.
III) Selanjutnya sesuai pasal 19 dari Konvensi Wina 1969 suatu negara juga dapat mengajukan reservasi terkecuali reservasi itu tidak sesuai dengan maksud dan tujuan daripada perjanjian (incompatible with the object and purpose of the treaty). Dengan mempergunakan penafsiran a contrario, dapat dikatakan bahwa apabila reservasi yang diajukan itu sesuai (compatible) dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu, maka hak untuk mengajukan reservasi tetap ada meskipun reservasi tidak diatur secara tegas dalam perjanjian yang bersangkutan ( I.M. Sinclair, Hlm. 43). Demikian pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh setiap negara yang berkeinginan menjadi peserta atau pihak pada perjanjian, tetapi disertai dengan suatu reservasi atas suatu ketentuan yang terdapat dalam perjanjian multilateral, sebagaimana diatur berdasarkan pasal 19 Konvensi Wina 1969.
          Dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan Konvensi Wina1969 mengenai pensyaratan atau reservasi maupun praktek negara-negara, termasuk praktek RI selama ini dalam hubungan dengan reservasi, maka Undang-Undang No.24 Tahun 2000 dalam pasal 8 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintah RI dapat melakukan pensyaratan dan atau pernyataan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian internasional tersebut. Penjelasan ayat ini menyebutkan bahwa pensyaratan dan pernyataan dilakukan atas perjanjian internasional yang bersifat multilateral dan dapat dilakukan atas suatu bagian perjanjian internasional sepanjang pensyaratan dan pernyataan tersebut tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dibuatnya perjanjian tersebut. Pensyaratan hanya dapat dilakukan apabila tidak dilarang oleh perjanjian internasional tersebut. Dengan pensyaratan atau pernyataan terhadap suatu ketentuan perjanjian internasional, Pemerintah RI secara hukum tidak terikat pada ketentuan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasal 8 dari Undang-Undang No.24 Tahun 2000 melakukan penggabungan antara ketentuan hukum mengenai pensyaratan (reservation) dengan ketentuan mengenai penafsiran (interpretation), di mana yang disebut terakhir ini disebut dengan istilah pernyataan (declaration). Penggabungan atau penyatuan kedua ketentuan hukum ini adalah sesuatu yang wajar sebab kedua-duanya mempunyai tujuan untuk mengesampingkan berlakunya ketentuan pasal dalam perjanjian internasional yang dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan kepentingan dari negara yang mengajukan reservasi. Untuk mengesampingkan berlakunya ketentuan pasal yang terdapat dalam perjanjian yang bersangkutan, maka negara dalam hal ini RI dapat menerapkan pensyaratan (reservation) dan atau pernyataan (declaration).
          Selanjutnya berdasarkan ketentuan pasal 8 ayat 2 disebutkan pensyaratan dan pernyataan yang dilakukan pada saat penandatanganan perjanjian internasional harus ditegaskan kembali pada saat pengesahan perjanjian tersebut. Apabila pensyaratan dan pernyataan dibuat dan dirumuskan pada saat penandatanganan perjanjian untuk kemudian ditegaskan dan dikukuhkan kembali pada saat pengesahan perjanjian, maka pengukuhan atau penegasan kembali tersebut harus dituangkan melalui instrument pengesahan seperti membuat piagam ratifikasi atau piagam aksesi. Pensyaratan dan pernyataan yang ditetapkan oleh Pemerintah RI dapat ditarik kembali setiap saat melalui pernyataan tertulis atau menurut tata cara yang ditetapkan dalam perjanjian internasional. Demikian ketentuan normatif soal pensyaratan (reservation) terutama pembatasan-pembatasan yang harus mendapat perhatian ketika Pemerintah RI perlu mengajukan reservasi atas suatu perjanjian multilateral sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-Undang No.24 Tahun 2000. Bersamaan dengan itu ketentuan pasal 8 Undang-Undang tersebut mencerminkan pula secara tersirat adanya penerapan doktrin Pan Amerika karena Undang-Undang itu berpedoman pada Konvensi Wina 1969 terkait dengan masalah reservasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar