A. Hakikat Perkawinan
Sudah
menjadi kodrat Tuhan, bahwa dua orang manusia yang berlainan jenis kelamin,
yaitu laki-laki dan perempuan mempunyai keinginan yang sama, untuk saling
mengenal, mengamati, dan mencintai, bahkan mereka juga mempunyai keinginan yang
sama untuk melangsungkan perkawinan.
Pada hakikatnya, perkawinan adalah
rasa cinta kasih, kewajiban, pemenuhan hasrat seksual dan pelanjutan keturunan.
Bagi Islam, rasa cinta kasih adalah rukun pertama sebuah perkawinan[1].
Perkawinan menurut hukum Islam
adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga,
yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai
Allah SWT[2].
Menurut istilah, nikah adalah akad
untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong
antara laki-laki dan perempuan, dimana antara keduanya bukan muhrim atau lebih
tegasnya, pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan
perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh
kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni[3].
Nikah (kawin) menurut arti asli
ialah hubungan seksual, sedangkan menurut majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang
menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami isteri antara seorang pria
dengan seorang wanita[4].
Sedangkan pengertian perkawinan
menurut Imam Syafi’i adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan
seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi nikah artinya
hubungan seksual[5].
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Pengertian Perkawinan Beda Agama
Yang dimaksud dengan perkawinan beda
agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama
dan kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya
perkawinan antara sorang pria muslim dengan seorang wanita protestan dan
sebaliknya[6].
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak memuat yang secara tegas mengatur tentang perkawinan
beda agama, tetapi hanya mengatur perkawinan campuran yang mempunyai arti
berbeda dengan perkawinan beda agama. Dalam pasal 57 disebutkan :
Yang
dimaksud perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan Indonesia.
Karena
itu hal ini menjadi tidak jelas apakah perkawinan beda agama dilarang atau
diperbolehkan.
Dalam pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 ditentukan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945
ditentukan bahwa segala segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
Hilman Hadikusuma dalam bukunya
“Hukum Perkawinan Indonesia” perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria
dengan seorang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan
dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing, termasuk dalam pengertian
ini, walaupun agamana satu kiblat namun berbeda dalam pelaksanaan
upacara-upacara agamanya dan kepercayaannya.
Dalam ajaran agama Islam, keabsahan
perkawinan terletak pada dua hal, yakni pada pelaksanaan akad nikah dan adanya
kedua calon mempelai. Artinya perkawinan itu dipandang sah apabila akad
dilaksanakan secara islam dan calon-calon suami atau isteri memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan oleh Islam. Diantara syarat calon suami atau
isteri adalah yang berkaitan dengan keberagamaan mereka. Dalam hal ini, tidak
dibenarkan perkawinan naita muslim dengan laki-laki non-Muslim, dan tidak
dibenarkan pula perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslim.
C. Tujuan Perkawinan
Tujuan
perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup masnusia,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
keluarga sesuai ajaran Allah dan rasul-Nya, untuk memperoleh keturunan yang sah
dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur[7].
Selain itu ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan
hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan
memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini,
juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi
yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
Soemijati, dalam bukunya Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, disebutkan bahwa tujuan
perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu
keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang
telah diatur oleh syari’ah.
Dari rumusan tujuan perkawinan
diatas, Filosofi Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faidah perkawinan kepada
lima hal, seperti berikut :
Ø Memperoleh
keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan
suku-suku bangsa manusia.
Ø Memenuhi
tuntutan naluriah hidup manusia.
Ø Memelihara
manusia dari kejahatan dan kerusakan.
Ø Membentuk
dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar
diatas dasar kecintaan dan kasih sayang.
Ø Menumbuhkan
kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar
rasa tanggung jawab.
Dari
definisi perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan bertujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
D.
Terjadinya Perkawinan
Para
ulama telah sepakat bahwa terjadinya perkawinan itu secara sempurna setelah
dilakukan ijab dan qabul dari suami isteri (semula calon isteri dan calon
suami) atau orang-orang yang menggantikan keduanya sebagai wali atau wakil. Dan
tidak sah akad nikah itu apabila hanya terjadi karena saling suka sama suka
saja antara mereka berdua tanpa akad nikah.
E.
Sahnya Perkawinan
1.
Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
Dasar
berlakunya Hukum Islam khsus mengenai Hukum perkawinan, Talak dan rujuk ialah
S. 1937 No. 638 jo. S. 1937 No. 610 dan No. 116 jo. Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1957 jo. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang No.l Tahun 1974.
Setelah
ditetapkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dasar
berlakunya Hukum Islam dibidang perkawinan terutama pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2), yang menetapkan sebagai berikut :
Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut Hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan
yang berlaku.
Sahnya
perkawinan menurut Hukum Islam harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat
sebagai berikut :
a) Syarat
Umum, artinya perkawinan tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang
termaktub dalam ketentuan Q. S. Al-Baqarah (2) : 221 yaitu larangan perkawinan
karena perbedaan agama dengan pengecualiannya Q. S. Al-Maidah (5) : 5, yaitu
khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan ahli kitab, seperti Yahudi dan
Nasrani. Dan tidak bertentangan dengan larangan-larangan dalam Q. S. An-Nisa
(4) : 22, 23, dan 24.
b) Syarat
khusus, adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan, dan
harus beragama Islam, akil baligh (dewasa dan berakal), sehat baik rohani
maupun jasmani.
c) Harus
ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, artinya perkawinan tidak
boleh dilaksanakan denga paksaan.
d) Harus
ada wali nikah.
e) Harus
ada dua orang saksi, dengan syarat beragama Islam, dewasa dan adil.
f) Mahar
(mas kawin)
g) Pernyataan
Ijab dan Qabul.
2.
Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan
yang berlaku.
Bagi
suatu Negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang
Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan
landasan Hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku
bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
Sesuai
dengan landasan falsafah Negara Indonesia (Pancasila) dan Undang-Undang Dasar
1945, maka undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan
prinsip-prinsip dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan dilain
pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat
dewasa ini.
Undang-undang
perkawinan ini telah menampung didalamnya unsure-unsur dan ketentuan-ketentuan
hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.
Dalam
undang-undang ini ditentukan prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntuan zaman.
Asas-asas
atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah :
1) Tujuan
Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu suami dan
isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiil.
2) Dalam
undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3) Undang-undang
ini menganut asas monogamy, hanya apabila dikehendaki oleh bersangkutan karena
hukum agama dari bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih
dari seorang. Namun, demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari
seorang isteri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan,
hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan.
[1]
Al-Thahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syari’at
dan Masyarakat, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993, hlm. 59
[2]
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan
Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 14
[3]
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam,
Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 1
[4] Mohd.
Idris Ramulya, Hukum Perkawinan Islam
(Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam),
PT. Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 1
[5]
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Dalam Masalah
Nikah, Talak dan Rujuk, Ihya Ulumuddin, Jakarta, 1971, hlm. 65
[6]
Abdurrachman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah
Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 20
[7]
Mahmud Junus, Hukum Perkawinan Dalam
Islam, CV. Al-Hidayah, Jakarta, 1964, hlm. 1