AZAS-AZAS HUKUM PERJANJIAN
ü Azas konsensualitas(menyangkut saat terjadinya perjanjian).
Azas
konsensualitas berarti bahwa perjanjian terjadi semata-mata karena adanya
konsensus atau sepakat, tanpa memerlukan sesuatu formalitas. Dengan kata lain :
sepakat atau persesuaian kehendak tidak perlu disertai dengan sesuatu sumpah,
tindakan atau formalitas untuk membentuk suatu perjanjian yang mengikat secara
sah (Asser-Rutten II : 25).
Hukum Germania dahulu hanya
mengenal perjanjian riil dan perjanjian formil, dan tidak mengenal perjanjian
konsensuil yaitu perjanjian yang telah sah dengan hanya konsensus atau sepakat
belaka. (sama halnya dengan Hukum Adat di Indonesia).
Juga hukum Romawi, dengan
beberapa pengecualian, memegang teguh kepada syarat bahwa perjanjian hanya
dapat terjadi jikalau dipenuhi formalitas-formalitas tertentu.
Karena pengaruh hukum Kanonik
(hukum gereja) maka lambat laun diakui azas ” nudus consensus obligat”
(konsensus belaka sudah mengikat.
Menurut B.W. yang berlaku di Indonesia pada umunya
perjanjian-perjanjian adalah perjanjian konsensuil, sedang perjanjian riil dan
perjanjian formil merupakan pengecualian. Jadi dapat dikatakan bahwa sistim
B.W. adalah kebalikan dari sistim hukum romawi.
Azas konsensualitas dapat disimpulkan dari pasal 1320
B.W. yang tidak menyebut sesuatu formalitas sebagai syarat untuk sahnya setiap
perjanjian.
perjanjian riil dan perjanjian
formil merupakan pengecualian dari azas konsensualitas.
ü Azas kebebasan berkontrak. (menyangkut isi perjanjian).
Azas kebebasan
berkontrak berarti bahwa orang bebas untuk menentukan dengan siapa ia akan
mengadakan perjanjian, dan terutama bebas untuk (bersama dengan pihak lain)
menentukan isi dan bentuk perjanjian. Dengan kata lain : kedua pihak dalam
suatu perjanjian adalah bebas atau otonom dalam menentukan isi dan bentuk
perjanjian.
azas ini secara konkrit berarti
:
Kewenangan untuk mengadakan perjanjian yang tidak diatur
secara khusus dalam B.W. atau undang-undang lain.
Kewenangan untuk mengatur isi perjanjian secara
menyimpang dari ketentuan-ketentuan pelengkap.
Kewenangan untuk menentukan bentuk dari perjanjian, yaitu
secara lisan, tertulis di bawah tangan, atau dengan akta notaris.
Azas kebebasan berkontrak (sama dengan azas
konsensualitas) tidak secara tegas tercantum dalam B.W. Namun azas ini dapat disimpulkan antara lain dari
pasal 1338 ayat 1 (”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku......”) dan
dari pasal 1329 (”setiap orang adalah cakap untuk membuat
perjanjian-perjanjian,....”).
Tentunya kebebasan berkontrak harus mempunyai
pembatasan-pembatasan. Pembatasan-pembatasan ini diperlukan :
Untuk mempertahankan ketertiban umum dan melindungi
kepentingan umum. (antara lain : dalam
pasal 1320 disyaratkan bahwa perjanjian harus mempunyai suatu sebab yang
halal).
Untuk melindungi pihak yang ekonomi lemah. (sebagai
contoh : lihat pasal 1601 yang bertujuan untuk melindungi si buruh).
Untuk melindungi perseorangan terhadap kemurahan hatinya
sendiri. (antara lain : pasal 1667 dan 1682 perihal perjanjian hibah merupakan
ketentuan-ketentuan yang melindungi pihak yang menghibahkan).
Pembatasan-pembatasan kebebasan berkontrak ini dapat
dicapai oleh pembuat undang-undang dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang
bersifat memaksa (dwingende rechtsregels), dan dengan sanksi ”batal demi hukum”
(nietig, void). Sanksi ini lebih berat daripada sanksi ”dapat dibatalkan”
(vernietigbaar, voidable).
ü Azas kekuatan mengikat dari
perjanjian. (menyangkut akibat
dari perjanjian).
Azas kekuatan
mengikat dari perjanjian berarti bahwa orang terikat pada janjinya sesuai
dengan kontrak atau perjanjian. Bukan saja terikat secara moril, tetapi terikat
menurut hukum. Untuk azas ini dipakai juga adagium ”pacta sunt servanda ”
(Asser-Rutten II 25, 26). Sebagai konsekwensi dari kekuatan mengikat dari
perjanjian, maka pasal 1338 ayat 2 menentukan bahwa perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak.
Dengan kata lain : salah satu pihak tidak dapat secara
sepihak melepaskan diri dari kewajibannya.
Azas kekuatan mengikat dari
perjanjian mempunyai dua pengecualian, yaitu
- Dalam hal ada ”keadaan memaksa” (overmatch, force majeure) kreditur tidak dapat menuntut pelaksanaan janji debitur (lihat bab 10).
- Bilamana menurut keadaan sangatlah tidak adil bahwa kontrak dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan, maka hakim dapat menyesuaikan hak dan kewajiban kedua pihak dengan tuntutan keadilan. Pengecualian ini tercantum dalam pasal 1338 ayat 3 : ”perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dengan kata lain : perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan sesuai dengan tuntutan kepatutan dan keadilan.
ü Asas Personalitas
Azas ini
berarti bahwa suatu perjanjian hanya menimbulkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu, dan bahwa
perjanjian itu tidak dapat memberi hak atau meletakkan kewajiban kepada seorang
ketiga (seorang lain). Azas ini tercantum dalam dua pasal, yaitu pasal 1315 dan
pasal 1340. kedua pasal ini dengan kata-kata yang berlainan sebenarnya
mengandung azas yang sama. Sebagai salah satu
pengecualian dari azas ini dapat disebut pasal 1317, yang mengatur
”janji guna kepentingan orang ketiga” (peding ton behoeve van een derdo).
Hapusnya Perikatan
1.
Karena
pembayaran;
Dalam hal ini
debitur atau borgtocht membayar utangnya (pasal 1382 BW). Dapat terjadi
bahwa
pihak ketiga muncul untuk melakukan pembayaran kepada pihak kreditur,
sehingga terjadi
penggantian kreditur (subrogasi). Kita mengenal 2 macam
subrogasi, yaitu subrogasi karena
perjanjian (pasal 1401 BW) dan subrogasi
karena undang-undang (pasal 1402 BW). Subrogasi
karena undang-undang,
contohnya perikatan tanggung-menanggung.
2. Karena Penawaran Pembayaran Tunai, Diikuti Dengan
Penyimpanan atau Penitipan (Konsinasi).
Debitur hendak membayar utangnya, tetapi pembayaran ini
ditolak oleh pihak kreditur, maka debitur dapat menitipkan pembayaran melalui
kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Dengan demikian perikatan menjadi
hapus (pasal 1404 BW). Contoh: pembayaran uang sewa rumah.
3. Karena Pembaharuan Utang (Novasi).
Menurut pasal 1413 BW, ada tiga macam novasi, yaitu:
Novasi subjektif aktif, krediturnya yang diganti, yaitu
kreditur lama diganti dengan kreditur yang baru, sehingga kreditur yang lama
tidak lagi berhak menuntut pembayaran dari perjanjian yang lama.
4. Karena Perjumpaan Utang (Kompensasi).
Menurut pasal 1426 BW, kompensasi terjadi demi hukum.
Contoh: A memiliki utang kepada B sebesar Rp. 3.000.000,-. Sebaliknya B
memiliki utang kepada A sebesar Rp. 3.500.000,- jika kedua utang ini
dikompensasikan (diperhitungkan), maka B memiliki utang kepada A sebesar Rp.
500.000,
5. Karena Percampuran Utang.
Percampuran utang terjadi akibat keadaan “bersatunya”
kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang. Dengan bersatunya kedudukan
debitur dan kreditur pada diri seseorang dengan sendirinya menurut hukum sudah
terjadi “percampuran utang” atau konfusio, dan dengan sendirinya pula semua
tagihan menjadi hapus (pasal 1436 BW).
6. Karena Pembebasan Utang.
Berdasarkan pasal 1438 BW: pembebasan atau penghapusan suatu
utang tidak dapat hanya diduga-duga, melainkan harus dibuktikan. Dalam hal ini
kreditur membebaskan kewajiban debitur untuk melaksanakan pemenuhan perjanjian.
Jadi pembebasan utang adalah tindakan hukum sepihak yang timbul atau datang
dari pernyataan kehendak kreditur.
7. Karena Musnahnya Barang Yang Berutang.
Mengenai musnahnya barang yang menjadi utang diatur dalam
pasal 1444 dan 1445 BW. Sesuai dengan ketentuan pasal 1444 BW, bahwa perjanjian
hapus dengan musnah atau hilangnya barang tertentu yang menjadi pokok prestasi
yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya kepada kreditur.
8. Karena Kebatalan Dan Pembatalan.
Perkataan “batal demi hukum” dalam pasal 1446 BW, yang
dimaksudkan adalah “dapat dibatalkan”. Suatu perjanjian dapat dibatalkan,
apabila tidak memenuhi syarat subjektif yaitu tidak ada kesepakatan atau tidak
ada kecakapan membuat suatu perikatan. Permintaan pembatalan dapat dilakukan
oleh orang tua/wali dari pihak yang tidak cakap atau oleh pihak yang menyatakan
kesepakatan karena paksaan, kehilafan atau penipuan.
9. Karena Berlakunya Syarat Batal.
Dalam perikatan dengan syarat batal ini, jika peristiwa
yang disyaratkan terjadi maka perikatan menjadi hapus/berakhir (pasal 1265 BW).
Contoh: A menempati rumah B, A harus mengosongkan rumah tersebut, jika C anak B
pulang dari luar negeri ke Indonesia. Syarat C anak B pulang dari luar negeri
ke Indonesia jika terjadi maka perikatan antara A dan B menjadi hapus, dan A
berkewajiban menyerahkan rumah tersebut kepada C.
10. Karena Daluwarsa atau Lewat Waktu.
Ada dua jenis daluwarsa, yaitu:
§ acquisitieve verjaring, daluwarsa untuk memperoleh sesuatu hak, pasal 1963 BW;
§ extinctieve verjaring, daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu kewajiban, pasal
1967 BW.
Dengan berlakunya UUPA, maka daluwarsa untuk memperoleh
suatu hak (pasal 1963 BW) tidak berlaku lagi, sehingga yang ada sekarang adalah
daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu kewajiban (pasal 1967 BW).
Unsur Perjanjian
1.
Unsur
Essensalia
Unsur
essensialia ialah unsur yang essensial atau yang mutlak perlu ada untuk
terbentuknya perjanjian pada umumnya atau untuk terbentuknya suatu perjanjian tertentu
Misalnya :
Unsur essensialia dari setiap
perjanjian ialah : sepakat. Unsur essensialia dari perjanjian jual beli ialah :
sepakat tentang barang dan harga (ps. 1458).
Unsur essensialia dari penjualan pinjam pakai ialah :
pemberian barang untuk digunakan dengan cuma-cuma (ps. 1740). Kalau tidak
dengan cuma-cuma (ada balas jasa berupa uang), maka tidak ada perjanjian
pinjam-pakai, tetapi perjanjian sewa-menyewa.
2. Unsur Naturalia
Unsur
naturalia ialah unsur yang bertalian dengan sifat perjanjian dan karena itu
dipandang termasuk ketentuan perjanjian, meskipun tidak dengan tegas
diperjanjikan.
Sebagai contoh pada perjanjian
jual-beli :
Penanggungan penjual akan
penguasaan barang secara aman dan tentram oleh pembeli dan penanggungan
penjual terhadap cacat-cacat barang yang tersembunyi
(1491, 1492, dan 1504). Ketentuan-ketentuan perihal risiko/yang dijual (1460, 1461, 1462).
Unsur-unsur naturalia terdapat dalam aturan-aturan
pelengkap (lihat bab 2), sehingga unsur-unsur naturalia dapat dikesampingkan
dengan mengatur secara lain dalam perjanjian.
3. Unsur Aksidentalia
Unsur
aksidentalia ialah unsur yang termasuk ketentuan perjanjian kalau dengan tegas
diperjanjikan.
Misalnya
:
Penentuan jangka waktu
pembayaran. Pilihan tempat tinggal atau domisili, dan selanjutnya semua syarat-syarat
yang dapat diadakan dalam perjanjian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar