Setelah melalui sengketa yang melelahkan, akhirnya Pertamina berniat
membayar klaim Karaha Bodas Co. LLG (KBC) sebesar US$250 juta untuk
memenuhi putusan Arbitrase Internasional (sebesar US$ 291 juta –pen)
atas ditangguhkannya proyek pembangkit listrik panas bumi (PLTP)
Karaha.
Namun, dua hari kemudian (13 Mei 2004), dua orang dari Pertamina
(Priyanto selaku mantan Kepala Divisi Panas Bumi dan Syafei Sulaeman
selaku mantan Kepala Subdirektorat Panas Bumi) dan Robert Mc Kitchen
(warga negara AS) selaku Vice President KBC dijadikan tersangka kasus
korupsi proyek PLTP Karaha.
Proyek PLTP Karaha merupakan proyek pengembangan listrik tenaga panas
bumi 400 Mega Watt (MW). Ada dua kontrak yang diteken pada 28 November
1994. Yaitu (i) Joint Operation Contract antara Pertamina dan KBC
(berkaitan dengan pengembangan lapangan panas bumi) dan (ii) Energy
Sales Contract antara antara Pertamina, KBC, dan PLN yang akan bertindak
sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan.
Namun, karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi International
Monetary Fund (IMF), pada 20 September 1997 presiden melalui Keppres
No.39/1997 tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah,
BUMN, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/BUMN.
Kepres tersebut menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai
keadaan ekonomi pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997 melalui Kepres
No.47/1997 proyek diteruskan. Namun, berdasarkan Keppres No.5/ 1998
pada tanggal 10 Januari 1998 proyek kembali di tangguhkan.
Meski akhirnya pada 22 Maret 2002 pemerintah melalui Keppres
No.15/2002, berniat melanjutkannya proyek. Selanjutnya, didukung juga
dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
No.216K/31/MEM/2002 tentang Penetapan Status Proyek PLTP Karaha dari
Ditangguhkan Menjadi Diteruskan. Dari rentetan kisah ini, penangguhan proyek PLTP Karaha bukan kehendak
Pertamina murni. Tapi, dalam rangka menjalankan kebijakan pemerintah.
Bahkan, kebijakan pemerintah pun dilatarbelakangi rekomendasi
International Monetary Fund (IMF) yang dibuktikan dengan Letter of
Intent Pemerintah RI kepada IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi.
Tentu saja, krisis itu sendiri (dan sudah diakui internasional) bukan
kehendak pemerintah.
Artinya, penangguhan proyek merupakan dampak ikutan krisis ekonomi yang di luar kontrol Pemerintah RI. Apalagi Pertamina.
Dihentikannya suatu kontrak oleh salah satu pihak (bukan kesepakatan para pihak), dalam kacamata hukum, dapat disebabkan oleh wanprestasi (default atau non fulfilment) atau force majeur (keadaan yang memaksa).
Dihentikannya suatu kontrak oleh salah satu pihak (bukan kesepakatan para pihak), dalam kacamata hukum, dapat disebabkan oleh wanprestasi (default atau non fulfilment) atau force majeur (keadaan yang memaksa).
Titik tolak yang membedakan keduanya adalah kehendak membatalkan
kontraknya. Jika niat mengakhiri kontrak merupakan kehendak bebas salah
satu pihak, maka ia wanprestasi. Sedangkan, jika kegagalan salah satu
pihak memenuhi prestasi dalam kontrak disebabkan situasi di luar
kontrol salah satu pihak, sehingga dalam keadaan terpaksa dan
kejadiannya tidak dapat diprediksikan, disebut force majeure.
Keadaan yang terkategori dalam force majeur (diantaranya) kebijakan
pemerintah/peraturan, bencana alam (banjir, gempa bumi, gunung
meletus), perang, kerusuhan, dan pemberontakan bersenjata.
Jika pembatalan kontrak disebabkan oleh wanprestasi, maka pihak yang
dirugikan layak mendapat ganti rugi. Namun, tidak demikian jika
disebabkan oleh force majeure. Sebab, force majeur kejadiaanya di luar
kehendak para pihak dan sangat tidak bisa diperkirakan.
Dengan demikian, penangguhan proyek PLTP Karaha oleh Pertamina adalah
force majeure. Namun, KBC tidak peduli akan alasan yang menjadi dasar
ditangguhkannya proyek tesebut. Terbukti, pada April 1998 KBC menggugat
Pertamina melalui Arbitrase Internasional di Swiss.
Sengketa Yang Melelahkan
Dari total gugatan ganti rugi KBC kepada Pertamina sebesar US$560 juta
(US$100 kerugian proyek yang sudah dilaksanakan untuk eksplorasi 8
sumur dan 20 sumur kecil oleh KBC juta plus nilai keuntungan yang akan
diterima), Arbitrase “hanya” mengabulkan klaim KBC senilai US$ 261
juta.
Sesungguhnya, ada beberapa hal yang meragukan “kejujuran” KBC dalam
proyek yang disengketakan tersebut. Pertama, menurut Asosiasi Panas
Bumi Indonesia (API) terdapat indikasi KBC melakukan mark up untuk
pembiayaan proyek tersebut (tentu saja bekerja sama dengan pihak
Indonesia). Sebab, menurut API investasi per sumur rata-rata US$3 juta,
sehingga biayanya maksimal sekitar US$ 40 juta (KBC mengklaim jumlah
expenditure-nya US$100 juta).
Kedua, berdasarkan klaim asuransi yang sudah diterima KBC dan bukti
cadangan yang sebenarnya hanya 60 MW (Kompas 6/6/03). Karenanya,
kesanggupan KBC membangun proyek PLTP sebesar 400 MW sebagaimana
tercantum dalam kontrak masih diragukan.
Ketiga, KBC telah menerima klaim asuransi dari Lloyd - London atas
penangguhan proyek tersebut sebesar US$75 juta. Artinya -jika yang
diasuransikan total project- nilai proyek tersebut US$75 juta (jauh
lebih kecil dari tuntutan ganti rugi KBC sejumlah US$100 atas kerugian
nilai expenditure KBC).
Keempat, terdapat selisih nilai proyek yang sudah dilaksanakan
(expenditure) yang dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (US$83
juta) dengan yang diajukan pada arbitrase (sekitar US$100 juta).
Tapi, Arbitase Internasional di tahun 2000 telah mengabulkan gugatan
KBC dengan menghukum Pertamina membayar ganti rugi US$261 juta
(.US$111,1 juta untuk kerugian pengeluaran dan US$150 juta untuk
kerugian keuntungan (lost of profit) ditambah bunga empat persen per
tahun sejak 1 Januari 2001).
Pertamina telah mengajukan berbagai upaya hukum untuk membatalkan
pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional di pengadilan luar negeri
tempat aset Pertamina.
Berdasarkan pasal 5 ayat (2) huruf b dari Convention on the Recognition
and Enforcement of Foreign Arbitral Award tanggal 10 Juni 1958
(“Konvensi New York 1958”) - Indonesia telah meratifikasinya dengan
Keppres No.34/1981- ditetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan
Arbitrase Internasional dapat ditolak karena bertentangan dengan
ketertiban umum (public policy/orde public).
Alasan menolak dengan senjata bertentangan dengan ketertiban umum
memang sangat fleksibel. Bahkan kadang terkesan sangat subyektif.
Khususnya bagi pihak negara yang dikalahkan. Secara umum ketertiban
umum diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan dan keamanan,
keadilan, atau tidak bertentangan dengan hukum.
Dengan mempertimbangkan penangguhan proyek yang didasarkan pada
kebijakan negara yang tertuang dalam Keppres, maka pada 27 Agustus 2002
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Pertamina untuk
menolak pelaksaan keputusan arbitrase Internasional.
Alasannya, bertentangan dengan ketertiban umum sebagaimana dimungkinkan
oleh pasal 66 UU No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Nasib Aset
Persoalannya, bagaimana nasib aset Pertamina yang sudah dibekukan oleh
pengadilan di luar negeri? KBC telah menggugat untuk pelaksanan putusan
Arbitrase di pengadilan New York, Texas, Hong Kong, dan Kanada untuk
dapat membekukan aset Pertamina yang ada di negara tersebut.
Pengadilan New York telah membekukan simpanan Pertamina yang ada di
Bank of New York. Nasib pertamina akan diputus oleh Supreme Court
(Mahkamah Agung /MA) di New Oreleans, Amerika Serikat (AS) pada bulan
September 2004 mendatang.
Karenanya, upaya kepolisian untuk membongkar kasus korupsi pada proyek
PLTP Karaha merupakan salah satu upaya mencari bukti baru (novum)
selain novum yang berupa pembayaran klaim asuransi dari Llyod-London
atas penangguhan proyek tersebut.
Seperti kita ketahui, AS memiliki Foreign Corruption Practice Act
(FCPA) 1977 yang telah diubah beberapa kali. Jurisdiksi FCPA menjangkau
di luar AS yang melarang praktek korupsi (termasuk penyuapan) yang
dilakukan oleh perusahaan AS yang beroperasi di Luar Negeri.
Ancamannya, denda hingga US$2 juta untuk badan hukum atau US$ 250 ribu
untuk individu dan pidana penjara hingga 5 tahun.
Konon –sebagaimana dikutip Tempo- salah satu sangkaan korupsi yang
sedang diusut oleh Polri antara lain status saham PT Sumarah dalam
Karaha Bodas. Diduga 10% saham yang dimiliki PT Sumarah dalam Karaha
Bodas hanya saham kosong alias tak menyetorkan modal.
Artinya, patut diduga Karaha Bodas terindikasi melanggar FCPA.
Harapannya, jika terbukti hanya saham kosong, maka MA di AS yang akan
memutuskan perkara tersebut pada September 2004, akan menolak
pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dengan alasan KBC telah
telah melanggar UU di Indonesia yang secara substansi melanggar FCPA.
Karenanya, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan di Indonesia harus
cepat memproses kasus dugaan korupsi KBC tersebut dan diharapkan dapat
diputus sebelum putusan MA di AS. Sungguh suatu upaya kerja yang tidak
bisa ditunda-tunda.
Asuransi Investasi
Sesungguhnya, untuk mengantisipasi resiko penanaman modal asing
langsung (terutama di negara berkembang), World Bank (WB) telah
memprakarsai Convention Establishing the Multilateral Investment
Guarantee Agency (MIGA). Konvensi tersebut telah diterima World Bank
dalam sidang tahunan 1985 di Seoul (Korea Selatan). Semua negara anggota
World Bank dan negara Swiss dapat menjadi anggota MIGA (pasal 4).
MIGA berkehendak memajukan arus investasi negara peserta Konvensi MIGA
(terutama negara berkembang). Caranya, memberikan jaminan terhadap non
commercial risk atas penanaman modal (langsung) dalam suatu negara
peserta (host country) yang datangnya dari negara peserta lainnya
(investor).
Resiko non komersial adalah resiko terhadap (i) transfer moneter, (ii)
pencabutan hak milik atau nasionalisasi dan tindakan serupa, (iii)
pelanggaran perjanjian (breach of contract), dan (iv) perang atau
perang saudara (pasal 11 a). Namun dapat juga diperluas jaminannya
asalkan dimohon oleh host country dan investor.
Indonesia telah meratifikasinya dengan menandatangani konvensi tersebut
di Washington DC pada 27 Juni 1986 dan menuangkannya dalam bentuk
Kepres No.31/1986 tentang Pengesahan Konvensi MIGA.
Mengadili Persepsi?
Kalau kita cermati, berbagai putusan arbitrase internasional yang
mengabulkan gugatan para investor asing akibat penangguhan atau
pembatalan proyek di Indonesia adalah lebih merupakan persepsi
internasional terhadap buruknya kepastian hukum di Indonesia ketimbang
substansi hukum alasan penangguhan atau pembatalan proyek itu sendiri.
Sebab, sesungguhnya kita mempunyai alasan yang kuat dan mendasar untuk
me-review berbagai proyek listrik swasta yang telah disetujui di era
Soeharto. Baik itu alasan force majeur karena krisis yang menimpa
Indonesia maupun alasan terindikasi korupsi, kolusi, atau nepotisme
(“KKN”).
Semasa pemerintahannya, Soeharto telah menyetujui 27 kontrak listrik
swasta yang ditangani perusahan asing dengan bermitra dengan perusahaan
lokal milik keluarga dan kroni Soeharto. Dan berbagai kejangggalan
akan kontrak itu pun mulai terungkap pasca kejatuhannya.
Konon, 20 dari 27 proyek listrik swasta itu tidak layak. Bahkan kadang
akal-akalan saja (karena sesungguhnya tidak diperlukan). Harga listrik
swasta yang harus dibeli PLN terhitung mahal yakni antara US$5,6 sen
(Rp504) sampai US$8,6 sen (Rp774) per kWh. Padahal harga listrik PLN
saja Rp161 per kWh. Sebagai perbandingan, harga listrik swasta di
Thailand, Laos, dan Filipina juga masing-masing sebesar US$4,2 sen,
US$1,29 sen, dan 5,3 sen (Trust No.34 Tahun II).
Jelas transaksi tersebut sangat merugikan Indonesia. Karenanya, meski
bukan alasan krisis ekonomi pun semestinya pemerintah Indonesia
memiliki dasar hukum yang kuat untuk me-review berbagai proyek listrik
swasta tersebut demi kepentingan konsumen Indonesia.
Apalagi berbagai pembatalan atau penangguhan proyek tersebut diperkuat
dengan kondisi krisis ekonomi yang juga telah direkomendasikan IMF.
Artinya, bukan alasan subyektif pemerintah RI semata. Apalagi
Pertamina.
Namun, apa daya, citra buruk penegakan hukum di Indonesia lebih menjadi
‘daya tarik’ yang di pertimbangkan Arbitrase Internasional untuk
menghukum RI. Kita mesti bersatu untuk memberikan penjelasan yang
memadai. Sungguh kali ini Indonesia dalam pihak dan posisi yang benar.
Semoga kasus Pertamina itu dapat menyadarkan kita semua bahwa terkadang
persepsi lebih penting ketimbang kondisi obyektif. Sebab, persepsi
dibangun dalam kurun yang panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar