Sabtu, 31 Oktober 2015

Ciri, objek dan subjek Lembaga Jaminan Fidusia

A. Ciri-ciri Lembaga Jaminan Fidusia
Ketentuan Fasal 1 angka 2 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Fidusia yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia terhadap kreditor lainya. Ini berarti Undang-undang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan jaminan Fidusia adalah agunan atas kebendaan atas jaminan kebendaan (Zukelijke zekerheid, security right in rem) yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi Fidusia Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia. Dengan demikian, tidak alasan untuk menyatakan bahwa jaminan Fidusia hanya merupakan perbankan obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat “persoonlijk" (perorangan) bagi kreditor. Dalam Pasal 4 Undang-undang Jaminan Fidusia juga secara tegas menyatakan bahwa jaminan Fidusia merupakan pajanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. 

Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan Fidusia memiliki sifat sebagai berikut:
1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok
2. Keabsahannya, semata-mata ditentukan oleh sab tidaknya perjanjian pokok.
3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok tefah atau tidak dipenuhi.


B. Objek dan subjek Lembaga Jaminan Fidusia
Sebelum bertakunya undang-undang Fidusia maka menjadi objek jaminan. Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory). Benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kenderaan bermotor.

Tetapi dengan berlakunya undang-undang Fidusia, maka objek jaminan Fidusia diberikan pengertian yang luas: berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-undang Fidusia, Objek jaminan Fidusia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1. Benda bergerak; baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud;
Semua benda bergerak dagat dijatninkan dengan jaminan. kenderaan: bermotor, barang-barang persediaan, hasil tanaman dan lainnya. Sedangkan barang bergerak tidak berwujud contohnya adalah piutang/tagihan.

2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. banguman yang tidak dibebani tanggungan disini maksudnya adalah banguman yang berdiri di atas tanah yang bukan tanah hak milik hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara. Sebagai contohnya yaitu bangunan seperti gedung yang berdiri di atas tanah milik orang lain, dimana gedung tersebut dijaminkan, akan tetapi tanahnya tidak, karena gadai, hipotik dan hak tanggungan tidak bisa menampung kebutuhan jaminan untuk itu, maka Fidusia bisa menjadi jalan keluarnya.

Salah satu syarat penting lainnya adalah bahwa benda yang menjadi objek jaminan Fidusia harus bisa dimiliki dan dapat dialihkan. Meraurut Pasal 7 Undang-undang Fidusia, jaminan Fidusia dapat digunakan untuk menjamin pelunasan utang baik yang sudah ada maupun yang akan ada, baik yang jumlahnya sudah ditentukan maupun yang pada saat eksekusi nantinya dapat ditentukan.Ketentuan dalam Pasa1 7 Undang-undang Fidusia, dimaksudkan untuk menampung praktek yang selama ini banyak muncul, yaitu kredit-kredit yang menggunakan rekening Koran Rekening Koran artinya perhitungan pos debet dan kredit. Di dalam rekeningn Koran bank, pihak bank membukukan perhitungnan harian tentang pengambilan dan setoran dari pemegang rekening Koran, dalam buku tertentu. Dan dari hubungan rekening Koran ini ditentukan saldo yang dapat ditagih. Sedangkan Johanes Ibrahim dalam bukunya, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Komsumtif Dalam Perjanjian Kredit Bank (Prespektif Hukum dan Ekonomi), Bandung: Mandar Maju, 2004, ha. 73 memberikan defenisi Rekening Koran adalah fasilitas yang diberikan dengan menggunakan saranan piñata hukum berupa rekening Koran. Ketika pemberian jaminan Fidusia diberikan, utang-utang tersebut belum ada, tetapi telah diperjanjiakan. Jadi, induk yang akan melahirkan utang itu sudah ada, tetapi utangnya belum ada.

 Pasal 9 Undang-undang Fidusia mengatur bahwa:
Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap 1 (satu) atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada ada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa objek jaminan Fidusia bisa hanya berupa satu benda atau lebih dari satu benda, misalnya lima kendaram bermotor. Benda jaminan itu bida merupakan benda tertentu atau disebutkan berdasarkan jenis, seperti Kopi Robusia A, beras Cianjur. Objek jaminan Fidusia juga dapat berupa benda bergerak tidak berwujud sepeati piutang/tagihan baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Selain itu untuk rnenghindarkan kesulitan dan keruwetan dikemudian hari, dalam PasaI 10 Undang-undang Fidusia diatetapkan bahwa jaminan Fidusia juga meliputi hasil dari benda jaminan Fidusia dan juga klaim asuransi. Sebelum berlakunya UU No. 42 tahun 1999, yang menjadi objek jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, Peralatan mesin dan kenderaan bermotor.39 Tetapi dengan berlakunya UU No. 42 Tahun 1499, yang dapat menjadi objek jaminan Fidusia diatur dalam Pasal 1 ayat 4, Pasal 10 dan Pasal 20 UU No. 42 Tahun 1999, benda-benda yang menjadi objek jaminan objek Fidusia adalah :
1. Benda yang dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;
2. Dapat berupa benda berwujud;
3. Benda berwujud termasuk piutang;
4. Benda bergerak
5. Benda tidak bergerak yang tidak dapai diikat dengan Hak Tanggungan ataupun hipotek.;
6. Baik benda yang ada ataupun akan diperoleb kemudian,
7. Dapat atas satu satuan jenis benda;
8. Dapat juga atas lebih dari satuan jenis benda;
9. Termnasuk hasil dari benda yang menjadi objek jaminan Fidusia;
10. Benda persediaan.

Bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan di sini dalam kaitannya dengan rumah susun sebagaimana diatur dalarn undagg-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan yang dapat menjadi pemberi Fidusia adalah arang perorang atau koperasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan Fidusia, sedangkan penerirna Fidusia adaiah oranag-orang atau perorangan yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin pendaftaran jaminan Fidttsia.

Perbedaan Leasing dan Sewa Beli

Mengenai leasing dapat dilihat pengertiannya dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan (“Perpres 9/2009”). Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.[1]
 
Drs. Muhamad Djumhana, S.H. mengatakan bahwa sewa guna usaha adalah istilah yang dipakai untuk menggantikan istilah leasing. Istilah leasing berasal dari bahasa Inggris, yaitu to lease yang berarti menyewakan, tetapi berbeda pengertiannya dengan rent. Dalam bahasa Belandanya istilah ini adalahfinancieringshuur.[2]
 
Lebih lanjut, Muhamad Djumhana menjelaskan bahwa leasing dalam praktik hukum mempunyai pengertian sebagai kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara sukarela yang disertai dengan hak pilih (optie) bsgi perusahaan tersebut, untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasingberdasarkan nilai sisa yang telah disepakati.[3]
 
Kemudian mengenai sewa beli, sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan baru yang mengaturnya. Akan tetapi, dalam Keputusan Menteri Perdagangan Dan KoperasiNomor 34/KP/II/80 Tahun 1980 tentangPerizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase) Jual Beli Dengan Angsuran, dan Sewa (Renting) (“Kepmen 34/1980”) yang telah dicabut olehPeraturan Menteri Perdagangan Republik IndonesiaNomor 21/M-DAG/PER/10/2005 Tahun 2005 tentangPencabutan Beberapa Perizinan Dan Pendaftaran Di Bidang Perdagangan, memberikan pengertian mengenai sewa beli.
 
Sewa Beli (hire purchase) adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.[4]
 
Mengenai sewa beli ini, Suharnoko, S.H., MLI. [5] mengatakan bahwa beli-sewa adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).Akan tetapi karena Buku III KUHPer menganut sistem terbuka, maka para pihak boleh membuat perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPer.
 
Perjanjian yang diatur secara khusus dalam Buku III KUHPer disebut perjanjian nominat sedangkan perjanjian yang tidak diatur dalam Buku III KUHPer disebut perjanjian innominat.
 
Menurut ketentuan Pasal 1319 KUHPer, setiap perjanjian nominat maupun perjanjian innominat tunduk pada ketentuan umum hukum perjanjian. Dengan demikian perjanjian beli-sewa sebagai suatu perjanjian innominat juga tunduk kepada ketentuan umum tentang perjanjian seperti misalnya syarat sahnya perjanjian dan tentang wanprestasi.
 
Suharnoko[6] menjelaskan beli-sewa adalah suatu perjanjian campuran dimana terkandung unsur perjanjian jual beli dan perjanjian sewa menyewa. Dalam perjanjian beli-sewa selama harga belum dibayar lunas, maka hak milik atas barang tetap berada pada si penjual sewa, meskipun barang sudah berada di tangan pembeli sewa. Hak milik baru beralih dari penjual sewa kepada pembeli sewa setelah pembeli sewa membayar angsuran terakhir untuk melunasi harga barang.
 
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa sewa beli berbeda dengan jual beli dengan angsuran. Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M.[7] menjelaskan bahwa perbedaan terpenting di antara keduanya adalah tentang saat beralihnya hak dari penjual kepada pembeli. Padasewa beli beralihnya hak (levering) terjadi pada saat seluruh cicilannya lunas terbayarkan. Jadi sebelum harganya lunas seluruhnya, kedudukan pembeli sewa hanya sebagai penyewa belaka. Dan berubah menjadi pembeli setelah habis angsurannya. Sementara pada jual beli dengan angsuran, hak atas barang sudah beralih (levering) dari penjual kepada pembeli setelah transaksinya terjadi walaupun saat itu harga belum seluruhnya dibayar.
 
Mengenai perbedaan ini, Dr. Munir Fuady, S.H., M.H., LL.M., mengatakan bahwa kecuali untuk bentukoperating lease, maka bentuk transaksi yang paling mirip dengan leasing adalah transaksi sewa beli. Walaupun antara leasing dan sewa beli mirip, tetapi ada beberapa perbedaan di antara keduanya, yaitu:[8]
1.    Dalam sewa beli, lessee otomatis (“demi hukum”) jadi pemilik barang di akhir masa sewa, sementara pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi apabila hak opsinya dilaksanakan olehlessee.
2.    Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tetapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee itu sendiri. Tetapi pada sewa beli, pihak lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakan itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya barang tersebut berasal dari milik pembeli sewa beli sendiri.
3.    Leasing termasuk dalam salah satu metode pembiayaan yang diperkenankan dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sementara sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan.

Melihat pada penjelasan di atas, terlihat bahwa dalam leasing adalah hak opsi bagi penyewa guna usaha untuk membeli barang tersebut atau tetap menyewanya saja. Ini berarti penyewa guna usaha menjadi pemilik dari barang tersebut apabila ia melaksanakan hak opsinya. Sedangkan dalam sewa beli, jika pembeli telah selesai membayar lunas harga yang telah disepakati, maka hak milik barang berpindah kepada pembeli.

Rabu, 27 Mei 2015

Dasar - dasar harta perkawinan menurut hukum.



A. Pengertian Harta Perkawinan
Harta perkawinan menurut hukum adalah semua harta yang dikuasai, suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah.

B. Macam-Macam Harta Perkawinan
1. Harta Bawaan
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan. Macam-macam harta bawaan adalah :
a. Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam pernikahan yang berasal dari peninggalan orang taua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatanya guna kepentingan para ahli waris bersama, di kerenakan harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris.
b. Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan berumah tangga.
c. Harta wasiat adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari hibah atau wasiat anggota kerabat.
d. Harta pemberian atau hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian atau hadiah para anggotas kerabat dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik.

2. Harta Penghasilan
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah perkawinan. Harta penghasilan pribadi ini terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat, pemiliknya dapat melakukan transaksi atas harta tersebut tanpa bermusyawarah dengan para anggota kerabat yang lain.

3. Harta Pencaharian
Adalah harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri bersama-sama selama perkawinan tanpa mempersoalkan apakah dalam mencari harta kekayaan itu suami aktif bekerja sedangkan istri mengurus rumah tangga dan anak-anak, kesemua harta kekayaan yang didapat suami istri itu adalah hasil pencarian mereka yang berbentuk harta bersama suami istri.

4. Hadiah Perkawinan
Adalah harta yang diperoleh suami istri bersama ketiaka upacara perkawinan sebagai hadiah. Hadiah perkawinan yang diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan dimasukkan dalam harta bawaan suami sedangkan yang diterima mempelai wanita sebelum upacara perkawinan masuk dalam harta bawaan istri dan semua hadiah yang disampaikan ketika kedua mempelai duduk bersanding dan menerima ucapan selamat dari para hadirin adalah harta bersama kedua suami istri terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat atau hanya dibawah pengaruh orang tua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan hartanya diperuntukkan kedua mempelai bersangkutan.
 
Menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 25 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menajdi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adlah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, dan apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.