Abstraksi
Uraian ini berusaha menunjukkan arti penting
gagasan kollewijin tentang unifikasi Hukum Perdata Internasional. Sudargo
Gautama sangat mendukung perwujudan gagasan ini. Bagi dia, keikutsertaan
Indonesia dalam konperensi-konperensi Internasional bukanlah masalah gengsi
akan tetapi masalah kebutuhan nyata. Amerika serikat memberikan sumbangan besar
dalam penerimaan konvensi tentang Administrasi Nasional dari waisan-warisan dan
konvensi tentang Product Liability.
Pendahuluan
Dalam pidato Dies Universitas Indonesia pada
tanggal 10 ferbruari 1973, Sudargo Gautama mengingatkan kembali tetang gagasan
kollenwijin.
Pokok masalah yang diidentifikasikan oleh kollenwijn ialah
:
Prinsip manakah yang terbaik untuk menentukan apa yang di
namakan status personil ( personeel statuut) seseorang ?
Kita mengenal dua prinsip di bidang ini :
1. Prinsip nasionalitas
Hukum yang ditentukan oleh kewarganegaraannya
2. Prinsip domisili
(domicilie)
Tempat domisili seseorang menurut hukum yang menentukan status
personilnya.
Pembahasan
Secara garis besar Negara-negara di dunia juga
dapat di kelompokkan menjadi dua golongan yaitu yang menganut prinsip
nasionalitas dan yang menganut prinsip domisili. System hukum yang di anut tiap
Negara bersifat rsional dan seringkali berbeda satu sama lain. Oleh karena itu
orang selalu mendambakan adanya harmonisasi, bahkan unifikasi hukum perdata
nasional. Dua cara unifikasi yang kita kenal adalah :
1. Mengunifikasikan seluruh system hukum
Negara-negara yang turut menandatangani suatu konvensi yang berkaitan dengan
masalah unifikasi ini. Dengan kata lain orang dapat menciptakan “droit
uniforme” (uniform law). Contoh : konvensi wesel dan cek tahun 1930 yang di
tanda tangani di JENEWA.
2. Menyeragamkan kaidah-kaidah hukum
internasionalnya saja. Jika untuk masalah-masalah tertentu dipakai
kaidah-kaidah hukum perdata nasional yang sama, maka persoalan hukum perdata
internasional akan diselesaikan dengan seragam. Contoh : perkara adopsi yang
yang diadili oleh hukum Negara yang menerima konvensi Den Haag tentang adopsi.
Usaha untuk mewujudkan Unifikasi Hukum Perdata Internasional telah
di mulai sejak tahun 1893 di Den Haag. Konperensi-konperensi HPI di Den Haag
pada mulanya masih bersifat konperensi diplomatic untuk menjajagi kemungkinan
mengadakan unifikasi kaidah-kaidah HPI. Indonesia untuk pertama kalinya turut
serta sebagai pengamat dalam komperensi Den Haag XI untuk HPI. Delegasi
Republik Indonesia di pimpin oleh Sudargo Gautama, dan anggota lainnya.
Indonesia juga sudah mulai membuka diri terhadap perkembangan hukum perdata
internasional UU No.5 Thn 1968 yang di umumkan dalam lembaran Negara 1968 No.
32 memuat persetujuan pemerintah RI terhadap konvensi tentang penyelesaian
perselisihan antara warga asing mengenai penanaman modal.
Pada
mulanya orang telah sepakat bahwa dalam rangka perjanjian internasional ,hukum
yang berlaku ialah hukum yang dipilih oleh para pihak sendiri. Para sarjana
semua setuju bahwa hukum telah dipilih oleh para pihak itulah hukum yang
pertama-tama harus dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional.
Kesimpulan
Pada
konfrensi hukum internasional ini, Indonesia masih sebagai pengamat. Merupakan
harapan banyak pihak, bahwa nantinya Indonesia akan jadi anggota penuh. Semula
konpernsi di Den Haag memiliki tujuan secara progresif mengadakan unifikasi dan
kodifikasi Hukum Perdata Internasional. Perkembangan selanjutnya menunjukkan
bahwa konperensi-konperensi Den Haag tidak lagi mencapai kodifikasi menyeluruh
tetapi hanya terbatas pada kaidah-kaidah hukum perdata internasional untuk
masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka :
- Gautama, S ( 1983 ), Capita selecta Hukum Peerdata
Internasioanal, Bandung : Alumni.
- Gautama, S. ( 1985 ), Aneka Masalah Hukum Perdata
Internasional, Bandung : Alumni
- Gautama, S ( 1986 ), Indonesia dan Arbitrase
Internasional, Bandung : Alumni.
- Gautama, S. ( 1987 ), Pengantar Hukum Perdata
Internasional Indonesia, Jakarta: Binacipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar